Ada yang sudah nonton Ali & Ratu Ratu Queens? Kalau belum dan nggak mau kena spoiler jangan lanjut baca ya!
(Sepertinya saya harus nanya pada mbak Gina S. Noer kenapa menulis Ratu Ratu dalam Ali & Ratu Ratu Queens itu nggak pakai tanda hubung/hypen/strip? Ratu-Ratu dong harusnya bukan Ratu Ratu? ASLI GEMES APA ARTI DI BALIKNYA? HAHA MAAFKAN).
Saya menangis nonton film ini dari awal sampai akhir. Bukan, bukan karena memikirkan Ali tapi justru memikirkan Mia. Betapa dia pasti terjebak di dalam satu persimpangan jalan yang yakinnnn, dialami banyak ibu. Mimpi sejak lama atau anak dan keluarga?
Kalau orang yang positive vibes only biasanya bilang “bisa keduanya kok, tenang aja” LOL MASA SIH? YAKIN? :))))
Kalau saya nggak berani bilang “tenang aja pasti bisa keduanya” meski juga tidak akan bilang “udah kubur aja mimpinya, sekarang fokusmu anak dan keluarga”.
Tidak berani terlalu positif tapi juga tidak perlu terlalu optimis. Di tengah-tengah saja.
Sebabnya kalau ada satu hal yang harus pelan-pelan direlakan saat punya anak adalah menyadari bahwa kamu bukan sepenuhnya milikmu lagi.
Bahwa ada hak anakmu di sana, bahwa ada hak suamimu di sana, dan setelah itu biasanya kita jadi melupakan bahwa ada hak dirimu sendiri juga yang memang sejak awal ada di sana. Praktiknya, ini sulit. Sangat sangat sulit.
Belum lagi tuntutan lingkungan tentang ibu ideal adalah ibu yang selalu ada bersama anaknya. Tidak peduli apakah si ibu tetap menyalakan mimpinya atau tidak. Tidak peduli meski di rumah yang sama, sang anak dibersamai maksimal atau tidak. Yang penting ibunya ada!
*
Selesai nonton ini saya jadi merenung *lah nonton apa aja bukannya jadi merenung? :))))*
Titik Mia memutuskan untuk pergi padahal anaknya masih kecil adalah titik nol. Ia memutuskan untuk bergerak, kembali mengejar mimpi. It’s a now or never situation.
Dia semakin tua, Ali semakin besar, dan semakin besar Ali semakin mungkin ia melarang ibunya pergi. Semakin tua Mia, semakin mungkin ia jadi melupakan mimpinya atau menyadari bahwa sudah terlambat, sudah bukan waktunya lagi.
Saya pernah ada di titik nol itu. *SORI EMANG BLOG INI BUAT CERITA PRIBADI HAHAHA*
Grafik kebahagiaannya kurang lebih seperti ini.
Bingung pada blogspot baru nih kenapa sih foto udah hi res pun setelah di-upload jadi butek gini ih |
TIDAK PERNAH sedikitpun terbersit dalam pikiran saya akan resign dari kantor. Saya selalu ingin bekerja. Ya gara-gara The Devil Wears Prada sih, saya selalu membayangkan saya adalah perempuan bekerja yang sekarang di-stereotype-kan sebagai mbak-mbak SCBD. Mbak-mbak kantoran.
Lupa kuliahnya Jurnalistik, walhasil bukan jadi mbak-mbak SCBD tapi mbak-mbak Buncit Raya naik turun taksi wawancara artis Korea LOL. Ya yang penting kerjalah! Saya punya rencana karier, ingin jadi apa dalam sekian lama. Ingin kerja di mana. Ingin kerja di perusahaan seperti apa.
Sampai menikah dan punya anak. Tiba-tiba dunia jadi jungkir balik. Karier yang dulu rasanya mudah dicapai kini jadi perlu banyak pertimbangan. Kantor yang dulu jadi mimpi tiba-tiba jadi mustahil digapai lagi. Terutama bagi saya yang ingin anak diurus sebisa mungkin dengan ideal.
Saya merelakan mimpi. Saya tidak mau lagi dihantui “coba kalau”. Saya tidak mau hidup dalam penyesalan dan menua dengan menyimpan “dendam” pada anak bahwa saya berkorban.
Saya berdamai untuk semua rencana yang mungkin tertunda atau malah memang harus menguap begitu saja. Tidak mau menyesali yang sudah jadi kenyataan, belajar melepaskan apa yang kita inginkan dan merelakan apa-apa yang tidak pernah kejadian.
Belajar bahwa ketika apa yang kita usahakan nggak bisa jadi nyata, mungkin memang sejak awal itu bukan untuk kita.
Belajar bahwa apa yang kita hadapi sekarang adalah konsekuensi dari berbagai pilihan kita di masa lalu dan tentu, dulu pun sudah dilalui dengan berbagai pertimbangan.
Saya membuat mimpi baru. Setelah jatuh ke bawah, merasa tidak punya apa-apa, merasa gagal, merasa tidak mungkin lagi bermimpi saya merangkak lagi. Belajar hal baru, berkenalan dengan komunitas baru, menemukan passion baru. Sampai akhirnya saya di titik nol lagi, siap untuk semangat lagi, siap untuk mengejar mimpi-mimpi baru lagi.
Itu saya. Saya MEMILIH untuk mencari mimpi baru. Mia tidak dan itu tidak apa-apa!
Mia (dan mungkin banyak di antara kalian) memilih melanjutkan mimpi lama. Yang mungkin terkubur karena harus menyusui, terabaikan karena anak tantrum dan berbagai drama balita, tapi tetap ada di sana. Ingin dikejar karena kalau tidak sekarang kapan lagi?
Kalau pun dia di rumah apakah dia akan fokus membesarkan anak dengan baik?
Iya pasti akan banyak penghakiman, tapi lebih baik dihakimi daripada menyesal seumur hidup. Lebih baik mencoba dibanding saat tua jadi menyesal dan hanya bisa bilang pada anak “aku berkorban banyak hal untukmu”. Lebih baik pergi sejenak dan tahu ia mencoba dibanding sampai tua menyadari ia kehilangan diri sendiri karena tidak memberi kesempatan pada mimpi.
Beda lainnya adalah saya didukung suami atas apapun pilihan saya. Mia tidak dan itulah sumber masalah sebenarnya.
Suaminya tidak rela Mia pergi mengejar mimpi, maka setelah 6 bulan ia bahkan tidak peduli bagaimana perasaan Mia, yang penting kalau gagal pulang. Jika ia mendukung maka mereka akan mencari jalan tengah. Bukan menceraikan begitu saja bahkan sebelum sempat bertemu lagi. Bukan menutup komunikasi Mia dengan Ali.
Itu sumber masalah utamanya. Kamu menikah dengan orang yang tidak sepaham denganmu melihat dunia. Kamu menikah dengan orang yang tidak menyadari bahwa setiap individu berhak punya mimpi, meskipun ia seorang ibu.
Beda prinsip.
Padahal sama prinsip saja membesarkan anak itu tidak mudah apalagi beda, kan? Tetap banyak mimpi yang harus ditunda untuk nanti dikejar ulang atau direlakan untuk selamanya, Yang mana saja, yang jelas lakukan dengan sadar. Lakukan dengan paham konsekuensi dari segalanya.
Itu saja.
-ast-