“Ambil hikmahnya ajalahhh.”
“Ya bersyukurlah masih blablabla”
“Kenapa sih liat negatifnya terus!”
“Count your blessings”
“Good vibes only!”
Sekali dua kali denger kalimat kaya gitu nggak masalah. Denger saat lagi nggak gitu down juga rasanya biasa aja. Tapi pas emang lagi di bawah banget, lalu ada yang ngomong gitu ke kita kok rasanya kaya emosi kita jadi nggak valid ya?
Apa iya nggak boleh ngeluh?
Apa iya karena kita masih bisa makan enak dan masih punya atap untuk bernaung kita lantas nggak pantas untuk mengeluh?
Pantas tidak pantas menurut siapa sih?
Mengeluh juga kan bukan berarti tidak bersyukur. “Ya saya bersyukur bisa makan enak tapi jujur capek banget nih masak tiap hari.” Kan valid aja. Nggak ada masalah dalam kalimat itu hahahaha.
Kalau untuk orang lain, kita kan nggak tau sedang sedalam apa dia dengan perasaannya sehingga tidak perlu lah ikut campur dengan menyuruhnya mendadak bahagia. Bahagia kan tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa tring! disulap sekejap hanya karena kita meminta dia untuk membuang negativity.
Kalimat atau pernyataan positif kan sebaiknya memotivasi. Kalau sudah tidak memotivasi, apa iya tetap bisa dibilang sebagai kalimat positif?
Di sinilah istilah toxic positivity lahir. Mindset terlalu positif sampai jadi toxic. Iya, bukan cuma kalimat negatif yang bisa jadi menyebalkan.
Contoh, kita terbiasa dengan jargon “kerja keras pintu sukses” seolah setiap orang yang kerja keras pasti suatu hari akan sukses alias kaya. Nope, toxic positivity.
Ada orang yang kerja keras banting tulang setiap hari seumur hidupnya dan sampai mati tetep hidup miskin susah makan. Tidak semua orang berhasil naik kelas hanya karena kerja keras.
Ingat kata mbawin @winditeguh. Kalau orang bisa, kamu belum tentu bisa. Kalau kamu bisa juga ya bagus, kalau nggak bisa nggak usah terlalu kecewa.
Gagal ya gagal. Gagal atau merasa gagal itu normal. Kadang kita dapet apa yang kita mau kadang nggak. Kadang beruntung kadang nggak. Ada yang beruntung terus ada yang apes terus.
Ada yang lahir miskin, mati kaya. Ada yang lahir miskin, mati tetap miskin. Ada yang miskin harta menghibur diri dengan kaya hati. Nggak tau aja dia orang kaya harta yang kaya hati juga banyak. Namanya juga menghibur diri kakkk masa nggak boleh ahahaha bolehhh dong.
Atau misal ada 1 anak pemulung sukses kuliah sampai S3 full beasiswa di luar negeri. Kita jadi bias dengan “tuh dia aja bisa sukses masa kamu kok nggak bisa” tanpa mempertimbangkan bahwa si anak ini adalah 1 dari jutaan anak pemulung yang punya kesempatan lebih baik.
Tidak perlu menglorifikasi kesuksesan sehingga kita tak terlalu kecewa ketika harus menemui kegagalan.
Apa lantas tidak usaha? Ya tetep usaha dong. Tapi dengan ekspektasi ini: Bahwa kerja keras nggak 100% menjamin kita dapat kehidupan yang lebih baik. Tidak perlu terlalu yakin akan sukses, tidak perlu juga terlalu khawatir untuk gagal. Netral saja.
Dalam parenting, mindset ini bisa jadi sangat berguna. Banyak orangtua yang punya banyak ekspektasi untuk anaknya sehingga khawatir si anak tidak seperti yang mereka harapkan. Padahal kan anak individu sendiri, masa depannya sebaiknya ia yang tentukan sendiri. Harapan kita itu sebatas harapan, bukan peraturan yang harus selalu anak patuhi. Ini kenapa saya merasa penting sekali mengatur ekspektasi.
Saya dan JG merasa sangat sanget berusaha untuk Bebe, kasih sekolah terbaik yang bisa kami afford, kasih makanan terbaik, bonding dan kelola emosi sebisa mungkin, kalau ternyata dia jadinya B aja atau nggak lebih baik dari kami?
Sudahlah kan sudah berusaha melakukan yang terbaik. Seharusnya tidak menyesal dan bisa berdamai karena seburuk apapun dia nantinya, dia adalah hasil terbaik yang sudah kami usahakan. (ini quote rework dari postingan ini: Kenapa Sekolah Begitu Penting?)
Iya, hidup ini lebih tentang gimana kita berdamai dengan kondisi kita sekarang.
Tentang gimana kita bisa dengan tenang hidup sekarang, tanpa terhantui masa lalu, tanpa terlalu mengkhawatirkan masa depan.
Tentang gimana kita sadar bahwa memang mimpi itu bikin kita lari, punya cita-cita itu harus, dan kadang halu itu boleh.
Terbang ketinggian pun nggak apa-apa tapi jangan lupa pegangan, biar kalau ternyata harus jatuh, kita nggak terjun bebas. Kita turun pelan-pelan.
Kita diam di tengah saja. Saat lelah menangislah, saat senang tertawalah.
Yes, neutral mindset ini memang juga masalah emosi. Sebagai orangtua kita sibuk bicara memvalidasi emosi anak agar anak punya regulasi emosi yang baik. Tapi sudahkah kita memvalidasi emosi kita sendiri?
Meregulasi semua emosi yang hadir dan tidak menyangkalnya? Meresapi setiap perasaan yang muncul dan tidak melabelinya sebagai sesuatu yang negatif hanya karena kita memposisikan diri harus selalu dalam “good vibes”?
Capek itu boleh, sedih itu manusiawi, cemas itu wajar apalagi di saat pandemi. Justru harus merasakan dulu perasaan-perasaan “negatif” itu sebelum akhirnya bisa netral. Bisa ada di pikiran bahwa perasaan kita itu semua sama. Tidak ada yang negatif atau positif, tinggal bagaimana kita bereaksi terhadap perasaan itu.
Capek boleh. Reaksi kita apa? Marah-marah. Kenapa perlu marah? Apa energi marahnya bisa dialihkan ke hal lain yang tidak menyakiti orang lain? Yang tidak membuat kita menyesal karena sudah membentak anak yang tidak perlu dibentak.
Cemas boleh. Reaksi kita apa? Terlalu banyak baca berita sampai sakit kepala, jadi sensitif dan mudah menangis. Maka coba kendalikan dengan cara mengurangi konsumsi berita dan perbanyak mengerjakan hal yang membuat kita senang.
Semua perasaan BOLEH kamu rasakan tapi perlu dilatih untuk bisa peka merasakan sehingga bisa mengendalikan reaksinya. Bagaimanapun, apa-apa yang kamu rasakan itu valid. :)
Kuncinya ada di mengendalikan perasaan agar selalu netral. Tidak berusaha selalu senang, tidak terlalu lama saat sedih. Tidak menganggap lebih perasaan “positif” dan tidak perlu selalu mengusir perasaan “negatif”.
Ketika emosi yang selama ini dilabeli negatif berhasil kita kendalikan, berikutnya coba resapi emosi yang selama ini kita labeli positif. Apakah kita juga bereaksi berlebihan ketika senang? Ketika bahagia? Sehingga makan terlalu banyak? Sehingga belanja terlalu impulsif?
Mungkin ini sebabnya orang zaman dulu sering bilang “jangan terlalu seneng ah, kalau terlalu seneng nanti sedih loh!”
Ada benarnya. Ketika kita terlalu senang, kita tidak bisa mengendalikan emosi positif, kita jadi punya benchmark “senang itu kalau begini lho” atau “bahagia itu kalau begini nih”. Ketika “begini” nya tidak lagi bisa hadir kita seperti kehilangan kesempatan untuk bahagia. Sedih pun jadi terasa lebih menyedihkan.
Dengan demikian, coba rasakan dan kendalikan perasaan dan emosi kita sepenuhnya. Marah tidak terlalu marah, senang tidak terlalu senang. Semua yang terlalu memang tidak baik, kan? Netral saja. Usahakan netral.
Jadi, sudah sampai mana perjalanan mengenali emosinya?
PS: Iseng ngecek tulisan semacam ini di blog dengan tag Tentang Hidup ternyata ada 73 postingan sejak 2015! Sama ini jadi 74! Wah, emang passionate banget kayanya saya ngomongin hidup hahaha. Kalau yang niat baca dari awal, tag ini jadi perjalanan emosi saya sih sepertinya.
Dari quarter life crisis, hancurnya kepercayaan diri karena punya anak, masih positive vibes only saking ngerasa hidup kok gini-gini aja, sampai sekarang di titik bisa bilang kalau positive vibes only juga nggak selamanya baik. Pengen pukpukin diri sendiri dan bilang BANGGA BANGET SAMA DIRI SENDIRI, TERIMA KASIH UDAH SAMPAI DI SINI! :))
Sekarang aku lagi di titik belajar soal kerja keras bisa aja mengkhianati hasil kak :)) dulu ngeyel banget bahwa apa-apa yang terjadi di diri kita bisa kok diubah kalo ada niat, usaha dan kemauan. Beranjak dewasa barulah sadar kerja keras nggak selalu menghasilkan hasil yang sama karena tergantung startnya mulai darimana :)
ReplyDeleteAku suka banget sama tulisan tentang hidup kak annisast. Aku belajar buat mengenali emosi lebih jauh dan nggak serta merta mengutuk perasaan marah kaya dulu. Kaya salah banget aja abis marah dan kecewa, padahal kita ini kan manusia ada saat capeknya