Saya sudah sangat ingin menulis tentang hidup akhir-akhir ini. Triggernya Ashraf Sinclair meninggal dan terlalu banyak hal yang terjadi di dunia.
Entah kenapa saya tidak menyempatkan diri. Karena merasa kepala terlalu penuh saya akhirnya hanya menuliskannya singkat di caption Instagram.
Berawal dari Kobe Bryant, lalu Ashraf Sinclair. Kemudian daftar tontonan 1-2 bulan belakangan yang bukannya menghibur malah bikin nangis bombay: “All The Bright Place” (Netflix) tentang dua orang yang mencari cahaya setelah duka dan trauma, “Onward” (Pixar) tentang pengandaian kematian yang kembali hanya untuk sehari, dan "Hi Bye Mama" (Netflix) yang membuat saya berpikir ulang tentang makna kehidupan.
Tentang meninggalkan dan ditinggalkan. HUHU SEDIH BANGET ASLI. Hi Bye Mama memperlihatkan sudut pandang kematian dari sisi yang meninggal, bukan dari sisi yang berduka. Baru, setidaknya untuk saya. :(
Lalu yang terakhir adalah Covid-19 yang bukannya bikin saya takut mati tapi bikin saya takut ditinggalkan jadi first thing first: Cek polis asuransi jiwa JG, apa uang pertanggungannya tetep cair kalau meninggal karena pandemi?
(Ternyata iya).
*
Pagi ini, hari keduabelas saya dan Bebe diam di rumah. Kami tidak melangkahkan kaki ke luar sekali pun. Berjemur di kamar yang memang jendelanya pas sekali terpapar sorotan matahari pagi, menghirup udara segar (ya kapan juga udara pagi Jakarta segar sih) dari balkon apartemen saja.
JG ke luar 2 kali untuk grocery shopping, mandi dan bebersih sebelum satu ruangan lagi dengan kami berdua. Dua kali ia keluar untuk mengambil paket dan GoFood. Hanya begitu saja tetap langsung mandi bersih. Terlalu takut membawa virusnya ke rumah, terlalu takut Bebe tertular dan kesakitan. :(
Saya dan Bebe berkomitmen 14 hari di rumah karena memang itu esensi isolasi diri, kan? Diam di rumah selama minimal 14 hari, agar ketika memang harus sakit, kita tahu persis kapan dan di mana kita tertular. Sekarang hari ke 12, seharusnya 2 hari lagi kami bisa bilang aman dan tidak punya virus dalam diri. Atau kalau ternyata punya dan tanpa gejala pun, sudah tidak menularkan pada siapa-siapa dalam 14 hari.
Jadi kami memang mengisolasi diri agar yakin tak tertular dan menulari. Iya, term yang tepat untuk kami adalah self-isolation bukan social distancing, karena saya tidak bersedia keluar lalu menjaga jarak dengan orang lain. Di saat seperti ini rasanya social distancing saja tidak cukup, apalagi tinggal dengan anak kecil.
Selama ini yang disebut rawan selalu orangtua. Rawan karena tingkat kematiannya tinggi. Tapi membaca berbagai cerita yang mengalami sakit, sakitnya bisa jadi ringan bisa jadi sangat berat. Membayangkan Bebe sakit berat kok rasanya saya tak mau keluar rumah. Biarlah saya hampir gila tapi saya di rumah saja untuk sementara.
Kenapa saya hampir gila?
*
Saat pengumuman sekolah diliburkan 2 minggu di hari Sabtu 12 hari yang lalu, saya adalah kaum yang optimis bahwa ini akan terjadi selama 2 minggu saja. Yah, 14 hari diam di rumah tidak ada salahnya, kan? Daripada keluar lalu jadi sakit, lalu jadi menulari orang yang sehat?
Naif sekali rasanya sekarang karena saat itu saya menganggap semua orang pasti melakukan hal yang sama.
Tidak, ternyata.
Ada yang memang terpaksa karena harus bekerja jadi tetap keluar rumah. Yang ini, jelas tidak apa-apa karena kalau terpaksa keluar rumah tandanya sudah tahu dong selama di luar itu harus bagaimana? Tidak menyentuh barang di tempat umum, rajin cuci tangan, jaga jarak dengan orang lain, dan segambreng tips lain.
Tapi yang meremehkan? Yang menganggap “halah mati mah mati aja” lalu keluyuran? Yang di jalan tetap serampangan, seperti saat normal, boro-boro cuci tangan, sampai rumah belum mandi atau ganti baju langsung rebahan. Yang kategori kedua ini nih yang paling pengen saya jorokin ke jurang biar mati duluan sebelum nularin orang :((((
Baru satu minggu di rumah, tiba-tiba imbauan baru muncul dan membuat #dirumahaja dari nol lagi. Iya, ditambah lagi 2 minggu karena gimana dong yang seminggu pertama kemarin jatohnya trial aja, karena nggak semuanya patuh.
Bebe yang sebelumnya sudah menghitung hari setiap pagi (10 hari lagi ya ibu? 9 hari lagi ya?) langsung berteriak NOOOO! We stuck together again? NOOOO! Sambil memeluk saya dan tertawa lepas. Saya?
:(
*
Saya sudah kehabisan energi.
Sebagai ekstrovert, saya sampai berusaha mengubah pola pikir, bahwa “jadi ekstrovert” adalah mindset. Afirmasi bahwa saya tidak perlu keramaian untuk charging energi, tidak perlu mengobrol dengan orang banyak untuk bisa bersemangat. Saya PASTI BISA mengisi ulang baterai saya dengan di rumah saja. Toh saya di rumah bersama dua orang favorit saya.
Saya menonton konser Pamungkas live, saya tetap IG story dan mengobrol dengan orang lain, saya tetap kulwap, saya tetap berusaha beranggapan bahwa sebagai millennial saya bisa hidup secara virtual.
Ternyata susah luar biasa. Saya butuh keramaian yang bukan maya. Senin pagi, hari kesepuluh itu jadi puncaknya. Dua hari sulit tidur dan hanya bisa menangis. Bangun tidur menangis sambil dipeluk Bebe yang pukpukin saya “Aku bosan banget Xylo, aku capek, aku boleh kan menangis?” Dia bilang boleh.
:(
Hari kerja saja sudah sulit untuk saya tapi kan kalau hari kerja saya sibuk karena tiap jam sudah ada jadwalnya harus ngapain atau jam makan sekeluarga berantakan sementara Bebe harus dipantau makannya agar berat badannya tidak turun lagi. Saat akhir pekan?
Belum lagi yang terburuk adalah saya jadi tidak punya me time, saya tidak punya waktu untuk diam sendiri karena definisi baru dari me time saat #dirumahaja seperti ini adalah menutup pintu kamar lalu menonton serial Netflix. Dengan suara JG dan Bebe berteriak-teriak di luar.
Bukan me time ideal tapi saya butuh itu. Bukan me time ideal karena jelas tidak bisa mengisi ulang baterai saya jadi 100% lagi.
Entahlah dengan kondisi berada di satu unit apartemen yang hanya berukuran 33 meter persegi, saya tidak tahu kapan bisa 100% lagi.
Energi yang ada kini hanya cukup untuk selalu bilang good morning sambil tersenyum lebar pada Bebe. Yang hanya cukup untuk menemaninya mengobrol berjam-jam sebelum tidur. Tentang Minecraft. Games yang tidak saya mengerti tapi saya dengarkan tiap detailnya. Karena hanya itu yang saya bisa untuk menghiburnya.
“I miss school, school is so fun,” kata Bebe semalam. Ia mulai rindu sekolah.
Minggu lalu yang ada di pikiran: Saya pasti bisa melewati 14 hari hanya dengan diam di rumah.
Minggu ini berubah menjadi: Kapan saya bisa beradaptasi dengan kondisi seperti ini?
Karena sungguh, orang sedunia pun tak ada yang tahu pasti kapan kondisi ini benar akan berakhir.
:(
*
Lalu 12 hari ini apa yang kami bertiga lakukan di rumah?
Pagi: Yoga, sarapan, mandi, jam 8 JG mulai kerja. Jam 9 saya mulai kerja, Bebe screen time.
Jam 12 masak makan siang dan makan sampai jam 1. Ngobrol, dancing, main. Kemudian Bebe tidur siang, saya kebut lagi kerja sampai jam 3 sore karena jam 3 dia PASTI akan bangun.
Jam 3 mulai main dengan Bebe bergantian dengan JG. Hanya beberapa hari ia kembali screen time karena saya dan JG terlalu banyak pekerjaan.
Malam makan, main UNO, umpel-umpelan di kasur. Besoknya begitu lagi.
Untungnya Bebe senang. Sebagai anak yang terakhir kali bersama ibunya 24 jam berhari-hari itu saat usianya 3 bulan, ia senang sekali karena bisa bersama saya dan JG sepanjang waktu. Matanya terus berbinar, terus menerus memeluk dan mencium saya. Meski rindu sekolah, ia belum mengeluh bosan. Malah mungkin ia bosan sudah keluar rumah terus setiap hari selama hampir 6 tahun. Baginya, ini liburan. Bagi saya, ini pelajaran.
Pelajaran bahwa rencana, meskipun sudah dibuat berbagai cara dan gaya, tetap bisa tertunda. Bahwa hidup saya yang biasanya sangat bergantung pada Google Calendar, juga nyatanya bisa tetap berjalan tanpa jadwal pasti apa-apa.
Yang paling membuat khawatir: Bagaimana kalau ini berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama? 3 bulan? 6 bulan?
Bagaimana kalau ini adalah the new normal seperti yang dibicarakan orang-orang? Bagaimana jika pemulihannya butuh waktu sangat lama karena ya Indonesia terlalu luas, Jakarta terlalu padat, penduduknya tak sepaham dan setara, pemerintahnya juga tak tegas karena terlalu takut jadi chaos. Wajar, saya juga takut. Tapi sampai kapan?
Sebuah pertanyaan yang berusaha saya enyahkan dari kepala karena sadar benar, itu di luar kendali dan kuasa saya tapi tetap saja. Pertanyaan itu muncul dan muncul kembali, buah cemas karena pengaruh diam di rumah terlalu lama.
*
Count your blessing.
I did.
Saya bersyukur masih gajian, punya kulkas penuh stok makanan dan camilan, dana darurat dengan jumlah yang cukup, masih bisa “iseng” beli saham, masih punya pilihan untuk diam di rumah. Saya bersyukur sekali.
Di sisi lain, rasa syukur ini jadi bentuk khawatir lain karena bagaimana dengan orang yang tidak seperti kami? Apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka bisa bertahan hidup?
Saya jadi merasa bersalah karena bisa bersyukur. Merasa bersalah karena pandemi seperti semakin memperlebar jarak, yang bisa stok makanan dan yang tidak, yang punya privilege dan yang hidup dari ke hari. Hidup memang tidak pernah adil.
Dulu rasanya saya banyak mau. Saya mau belajar ini itu, saya mau ambil kelas ini itu, saya mau bikin ini itu untuk ulang tahun Bebe, saya mau beli ini itu. Banyak sekali daftar keinginan saya di tahun 2020 ini.
Sekarang semua keinginan itu hilang dan saya hanya mau dunia kembali ke tahun lalu. Ketika yang diributkan hanyalah hipnoterapis yang mengaku dokter, ketika yang dikhawatirkan hanyalah GoFood yang terlambat datang saat makan siang. Ketika yang ingin dicapai rasanya masih bisa digapai.
Bisa apa selain menangis? Hehehe.
Menangis menyembuhkan. Menangis adalah bagian dari mengenali emosi yang datang dan pergi. Maka kalau mau menangis, menangislah. Kalau mau teriak, teriaklah. Tapi tolong, tetap diam di rumah.
Kita perlu semua orang untuk diam di rumah dan menghentikan ini segera. Karena dampaknya bukan hanya ekonomi yang kolaps tapi juga kondisi jiwa yang semakin jauh dari tawa.
*
By the way, saya berjuang untuk tidak seperti ini lagi bertahun-tahun lamanya. Berjuang untuk tidak menangis tiba-tiba, untuk tidak berpikir terlalu banyak. Saya belajar meditasi, ikut kelas-kelas mindfulness, dan setahun belakangan saya merasa saya sudah baik-baik saja. Saya sudah berani untuk bilang saya pulih dan tidak apa-apa.
Dihadapkan pada situasi bencana seperti ini ternyata saya belum baik-baik saja. Semoga ini semua cepat berlalu, ya.
Semoga rasa damai bukan lagi hanya andai.
Semoga rasa tenang secepatnya bisa jadi pemenang.
-ast-