Tahun lalu, saya pernah nulis tentang mempertanyakan kebahagiaan. Tentang kita nggak pernah bisa valid merasakan sepenuhnya bahagia kalau nggak punya pembanding keadaan yang tidak bahagia.
Baca dong: Mempertanyakan Kebahagiaan (Open new tab dulu terus baca plis)
Pun dengan uang, “idealnya” kita bisa bilang uang bukan segalanya ya saat punya uang. Kalau dalam kondisi belum pernah punya uang, tidak valid bilang “money can’t buy happiness” karena buktinya mana?
Apa kamu pernah merasakan punya uang untuk beli sebagian besar barang yang kamu mau lalu tidak bahagia? Kalau belum, kok bisa bilang gitu? Apa kamu cuma menghibur diri?
*
Lalu semalam ngobrol sama JG soal ini dan dia bilang “privilege banget ya ternyata bisa makan malem bertiga terus tiap hari tuh”. Terus saya jawab: “Apa ini privilege? Atau pilihan?”
Ya privilege sih, tidak semua orang punya kemewahan kebetulan suami kerja di jam kerja yang pasti dan istri yang kerja di perusahaan yang jam kerjanya tidak pasti tapi most of the time di jam dinner udah di rumah lah.
(Baca blogpost soal Work Life Balance ini, klik, open new tab lagi!)
We’re blessed.
Itu kalau dilihat dari sisi privilege. Tapi kalau dipikir ini buah dari keputusan di masa lalu juga ya bisa. Karena prioritas waktu buat keluarga ini juga jadi pilihan dan komitmen sejak memutuskan menikah kan. Karena lelah LDR, sebelum nikah JG memutuskan pindah kerja ke kantor yang jam kerjanya pasti.
Gaji ilang setengah, hidup jadi lebih susah rasanya karena hamil dan mau punya anak kok gaji malah ilang setengah. Makanya memang saya harus tetep kerja karena realistis aja emang nggak cukup uangnya untuk membesarkan anak kalau saya nggak kerja.
Lalu teringat lagi kejadian kemarin juga soal dia batal pindah kerja. Diingatkan lagi dengan komitmen awal kami bahwa ya kerja kan buat keluarga, untuk apa kerja tapi jadi nggak punya waktu buat keluarga?
Langsung pulang ke rumah sepulang kerja juga kan pilihan. Dalam sebulan, JG hanya tidak langsung pulang itu hanya maksimal 2 kali karena dia main bola, itu juga kalau tidak hujan, kalau hujan ya pulang. Saya, pulang malam tidak sampai sebulan satu kali, kalau memang kebetulan ada acara yang undangannya malem aja. Sangat jarang.
Kami lebih sering memilih langsung pulang karena rasanya udah berjam-jam di luar rumah apa nggak mau pulang aja dan kembali kruntelan bertiga?
Memilih untuk tinggal di sekitar kantor juga kan pilihan. Nggak mau punya rumah tapi terus nggak bisa makan malem bareng karena rumahnya jadi jauh dan kelamaan di jalan. Nggak mau punya rumah tapi terus Bebe jadi sama nanny di rumah karena cari daycare susahnya ampun-ampunan.
*
Kalau inget-inget waktu Bebe bayi dulu wahhh hidup tuh nggak segampang sekarang. Blog ini jadi saksinya hahahah.
JG masih mayan sering pulang malem tapi kami keukeuh pulang bareng biar bisa ngobrol jadi saya jemput Bebe di daycare lalu nunggu di halaman daycare bisa sejam sendiri.
Yang berat kalau bulan puasa, pernah saya tulis blogpostnya di sini: Hidup yang Lebih Baik (Jadi udah open new tab berapa ini? Hahaha)
Karena pilihannya naik taksi pulang berdua atau nunggu. Saya dan Bebe lebih sering nunggu karena waktu itu rasanya nggak mampu kalau harus pulang pake taksi setiap hari. Baru ada GoJek dan nggak sanggup bawa balita naik GoJek, belum ada GoCar atau GrabCar.
Dua tahun belakangan penghasilan udah lebih baik, udah nggak mikir dua kali lah kalau harus naik taksi atau GoCar gitu. Keuangan udah lebih stabil dibanding dulu, uang SD Bebe udah lunas kebayar, udah mulai nabung buat SMP dan SMA.
Jadi baru sekarang rasanya kami valid untuk bilang: Money can’t buy happiness.
Masih pengen classic Chanel bag sih emang 😂tapi semua yang kami punya cukup kok . Semua yang kami punya sudah layak dirayakan. Semua yang kami punya, layak disyukuri karena toh lebih dari yang kami butuhkan selama ini.
Lebih dari yang kami butuhkan untuk bertahan hidup lho ya, bukan bertahan untuk keinginan yang selamanya nggak akan pernah habis.
*
Lalu mikir lagi, saya bilang “eh menurut aku kita bisa sampai di sini karena kita nggak pakai standar society untuk segalanya. Kita punya standar kita sendiri dan nggak gampang kebawa orang lain”.
Ini sih mungkin yang terberat. Berat karena harus tahan denger komentar dan omongan orang lain.
Standar society bagi pasangan muda baru nikah: Beli rumah, punya mobil, anak kedua. Nata-nata rumah, foto rumah di IG, main bareng anak di rumah.
Iya saya tau banyak yang memang sangat sangat ingin punya rumah sendiri karena satu dan lain hal. Jadi memang tujuan utama setelah nikah tuh beli rumah. Nggak apa-apa asal sudah dipertimbangkan dengan baik dan nggak jadi berat untuk bayar cicilannya.
Karena saya juga pengen kok punya rumah sendiri, tapi tau diri aja, pengennya di Jakarta Selatan dan kalau sekarang beli rumah, uangnya cuma cukup buat nyicil di pinggiran. Jadi ya tidak beli.
Tapi saya tau juga, banyak orang yang beli rumah karena merasa harus. Dari dipaksa orangtua, disindirin saudara, sampai merasa left out karena kok temen-temen udah punya rumah aku kok belum? Nah yang kaya gini nih udah keseret standar orang lain yang entah gunanya apa.
Belum lagi gaya hidup dan keinginan-keinginan yang muncul karena alasan self-rewards: Udah capek-capek kerja masa nggak boleh self-rewards!
Jilbab aja harus merek X yang belinya aja ampun harus cepet-cepetan atau harus dari reseller. Baju harus ini karena selebgram ini pake. Jastip lah semua orang beli barang jastip kok aku jadi pengen juga? Buku juga beli banyak karena masa orang belanja di BBW aku tidak? Kan boros beli buku lebih baik dibanding boros beli mainan?
Boleh self-rewards, masa nggak boleh. Tapi tentu lebih baik kalau tidak boros sih hahahaha.
Mau sampai kapan hidup kalian terseret gaya hidup orang lain terus? Apa tidak mau mendefinisikan kebahagiaan sendiri jadi nggak perlu pakai standar kebahagiaan orang lain?
*
Jadi apa bener uang bisa beli kebahagiaan? IYA DONG, BISA BANGET. Tapi ingat batasnya.
Kerjalah tanpa mengorbankan kesehatan. Kerjalah tanpa mengorbankan waktu bareng keluarga. Kerjalah untuk bisa bertahan hidup sekarang dan di masa depan bersama orang-orang yang kamu sayang.
Menabung sedikit-sedikit itu tidak apa-apa. Kamu tidak dikejar apapun. Selama masih ada uang untuk ditabung, sesuaikan gaya hidupmu dengan uang itu. Untuk menabung itu konsepnya kan hanya menambah penghasilan atau mengurangi pengeluaran. Kalau menambah penghasilan artinya mengorbankan waktu dengan keluarga, apa tidak mau coba review dulu pengeluaran, siapa tahu terlalu banyak gaya? :))))
Mungkin kadang kamu merasa iri pada teman-teman yang gajinya sudah dua kali lipat lebih besar, tapi ingat selalu, kerja lebih keras PASTI menuntut pikiran dan waktu lebih banyak. Kamu mau habis waktu untuk kerja atau mau banyak waktu bareng keluarga?
Poinnya adalah: Kerja sekerasnya untuk semua tanggunganmu tapi jangan lupa luangkan waktu untuk mereka ini. Luangkan waktu untuk mereka, luangkan waktu untuk dirimu sendiri. Dan di titik itu baru kamu akan bisa bilang kalau uang tidak bisa membeli kebahagiaan.
Dan seperti yang saya bilang di atas, sengaja meluangkan waktu untuk quality time dengan keluarga itu pilihan. Ada yang memilih untuk tidak mau pulang cepat karena merasa kosong di rumah sendiri, merasa dingin padahal punya tuh suami. Mungkin saatnya terhubung kembali, apa yang harus kita ganti sehingga hidup bisa jadi lebih berarti? Apa yang salah? Apa yang harus dipilah atau harus mengalah?
Kita perlu uang untuk bertahan, tapi bukan berarti jadi kerja tak berkesudahan. Jadi jangan lupa rebahan! Semoga bahagia selalu, ya!
PS: Tulisannya agak kurang enak karena awalnya nulis untuk story. Tapi ah udalah posting di blog aja hahahaha
-ast-
Baca dong: Mempertanyakan Kebahagiaan (Open new tab dulu terus baca plis)
Pun dengan uang, “idealnya” kita bisa bilang uang bukan segalanya ya saat punya uang. Kalau dalam kondisi belum pernah punya uang, tidak valid bilang “money can’t buy happiness” karena buktinya mana?
Apa kamu pernah merasakan punya uang untuk beli sebagian besar barang yang kamu mau lalu tidak bahagia? Kalau belum, kok bisa bilang gitu? Apa kamu cuma menghibur diri?
*
Lalu semalam ngobrol sama JG soal ini dan dia bilang “privilege banget ya ternyata bisa makan malem bertiga terus tiap hari tuh”. Terus saya jawab: “Apa ini privilege? Atau pilihan?”
Ya privilege sih, tidak semua orang punya kemewahan kebetulan suami kerja di jam kerja yang pasti dan istri yang kerja di perusahaan yang jam kerjanya tidak pasti tapi most of the time di jam dinner udah di rumah lah.
(Baca blogpost soal Work Life Balance ini, klik, open new tab lagi!)
We’re blessed.
Itu kalau dilihat dari sisi privilege. Tapi kalau dipikir ini buah dari keputusan di masa lalu juga ya bisa. Karena prioritas waktu buat keluarga ini juga jadi pilihan dan komitmen sejak memutuskan menikah kan. Karena lelah LDR, sebelum nikah JG memutuskan pindah kerja ke kantor yang jam kerjanya pasti.
Gaji ilang setengah, hidup jadi lebih susah rasanya karena hamil dan mau punya anak kok gaji malah ilang setengah. Makanya memang saya harus tetep kerja karena realistis aja emang nggak cukup uangnya untuk membesarkan anak kalau saya nggak kerja.
Lalu teringat lagi kejadian kemarin juga soal dia batal pindah kerja. Diingatkan lagi dengan komitmen awal kami bahwa ya kerja kan buat keluarga, untuk apa kerja tapi jadi nggak punya waktu buat keluarga?
Langsung pulang ke rumah sepulang kerja juga kan pilihan. Dalam sebulan, JG hanya tidak langsung pulang itu hanya maksimal 2 kali karena dia main bola, itu juga kalau tidak hujan, kalau hujan ya pulang. Saya, pulang malam tidak sampai sebulan satu kali, kalau memang kebetulan ada acara yang undangannya malem aja. Sangat jarang.
Kami lebih sering memilih langsung pulang karena rasanya udah berjam-jam di luar rumah apa nggak mau pulang aja dan kembali kruntelan bertiga?
Memilih untuk tinggal di sekitar kantor juga kan pilihan. Nggak mau punya rumah tapi terus nggak bisa makan malem bareng karena rumahnya jadi jauh dan kelamaan di jalan. Nggak mau punya rumah tapi terus Bebe jadi sama nanny di rumah karena cari daycare susahnya ampun-ampunan.
*
Kalau inget-inget waktu Bebe bayi dulu wahhh hidup tuh nggak segampang sekarang. Blog ini jadi saksinya hahahah.
JG masih mayan sering pulang malem tapi kami keukeuh pulang bareng biar bisa ngobrol jadi saya jemput Bebe di daycare lalu nunggu di halaman daycare bisa sejam sendiri.
Yang berat kalau bulan puasa, pernah saya tulis blogpostnya di sini: Hidup yang Lebih Baik (Jadi udah open new tab berapa ini? Hahaha)
Karena pilihannya naik taksi pulang berdua atau nunggu. Saya dan Bebe lebih sering nunggu karena waktu itu rasanya nggak mampu kalau harus pulang pake taksi setiap hari. Baru ada GoJek dan nggak sanggup bawa balita naik GoJek, belum ada GoCar atau GrabCar.
Dua tahun belakangan penghasilan udah lebih baik, udah nggak mikir dua kali lah kalau harus naik taksi atau GoCar gitu. Keuangan udah lebih stabil dibanding dulu, uang SD Bebe udah lunas kebayar, udah mulai nabung buat SMP dan SMA.
Jadi baru sekarang rasanya kami valid untuk bilang: Money can’t buy happiness.
Masih pengen classic Chanel bag sih emang 😂tapi semua yang kami punya cukup kok . Semua yang kami punya sudah layak dirayakan. Semua yang kami punya, layak disyukuri karena toh lebih dari yang kami butuhkan selama ini.
Lebih dari yang kami butuhkan untuk bertahan hidup lho ya, bukan bertahan untuk keinginan yang selamanya nggak akan pernah habis.
*
Lalu mikir lagi, saya bilang “eh menurut aku kita bisa sampai di sini karena kita nggak pakai standar society untuk segalanya. Kita punya standar kita sendiri dan nggak gampang kebawa orang lain”.
Ini sih mungkin yang terberat. Berat karena harus tahan denger komentar dan omongan orang lain.
Standar society bagi pasangan muda baru nikah: Beli rumah, punya mobil, anak kedua. Nata-nata rumah, foto rumah di IG, main bareng anak di rumah.
Iya saya tau banyak yang memang sangat sangat ingin punya rumah sendiri karena satu dan lain hal. Jadi memang tujuan utama setelah nikah tuh beli rumah. Nggak apa-apa asal sudah dipertimbangkan dengan baik dan nggak jadi berat untuk bayar cicilannya.
Karena saya juga pengen kok punya rumah sendiri, tapi tau diri aja, pengennya di Jakarta Selatan dan kalau sekarang beli rumah, uangnya cuma cukup buat nyicil di pinggiran. Jadi ya tidak beli.
Tapi saya tau juga, banyak orang yang beli rumah karena merasa harus. Dari dipaksa orangtua, disindirin saudara, sampai merasa left out karena kok temen-temen udah punya rumah aku kok belum? Nah yang kaya gini nih udah keseret standar orang lain yang entah gunanya apa.
Belum lagi gaya hidup dan keinginan-keinginan yang muncul karena alasan self-rewards: Udah capek-capek kerja masa nggak boleh self-rewards!
Jilbab aja harus merek X yang belinya aja ampun harus cepet-cepetan atau harus dari reseller. Baju harus ini karena selebgram ini pake. Jastip lah semua orang beli barang jastip kok aku jadi pengen juga? Buku juga beli banyak karena masa orang belanja di BBW aku tidak? Kan boros beli buku lebih baik dibanding boros beli mainan?
Boleh self-rewards, masa nggak boleh. Tapi tentu lebih baik kalau tidak boros sih hahahaha.
Mau sampai kapan hidup kalian terseret gaya hidup orang lain terus? Apa tidak mau mendefinisikan kebahagiaan sendiri jadi nggak perlu pakai standar kebahagiaan orang lain?
*
Jadi apa bener uang bisa beli kebahagiaan? IYA DONG, BISA BANGET. Tapi ingat batasnya.
Kerjalah tanpa mengorbankan kesehatan. Kerjalah tanpa mengorbankan waktu bareng keluarga. Kerjalah untuk bisa bertahan hidup sekarang dan di masa depan bersama orang-orang yang kamu sayang.
Menabung sedikit-sedikit itu tidak apa-apa. Kamu tidak dikejar apapun. Selama masih ada uang untuk ditabung, sesuaikan gaya hidupmu dengan uang itu. Untuk menabung itu konsepnya kan hanya menambah penghasilan atau mengurangi pengeluaran. Kalau menambah penghasilan artinya mengorbankan waktu dengan keluarga, apa tidak mau coba review dulu pengeluaran, siapa tahu terlalu banyak gaya? :))))
Mungkin kadang kamu merasa iri pada teman-teman yang gajinya sudah dua kali lipat lebih besar, tapi ingat selalu, kerja lebih keras PASTI menuntut pikiran dan waktu lebih banyak. Kamu mau habis waktu untuk kerja atau mau banyak waktu bareng keluarga?
Poinnya adalah: Kerja sekerasnya untuk semua tanggunganmu tapi jangan lupa luangkan waktu untuk mereka ini. Luangkan waktu untuk mereka, luangkan waktu untuk dirimu sendiri. Dan di titik itu baru kamu akan bisa bilang kalau uang tidak bisa membeli kebahagiaan.
Dan seperti yang saya bilang di atas, sengaja meluangkan waktu untuk quality time dengan keluarga itu pilihan. Ada yang memilih untuk tidak mau pulang cepat karena merasa kosong di rumah sendiri, merasa dingin padahal punya tuh suami. Mungkin saatnya terhubung kembali, apa yang harus kita ganti sehingga hidup bisa jadi lebih berarti? Apa yang salah? Apa yang harus dipilah atau harus mengalah?
Kita perlu uang untuk bertahan, tapi bukan berarti jadi kerja tak berkesudahan. Jadi jangan lupa rebahan! Semoga bahagia selalu, ya!
PS: Tulisannya agak kurang enak karena awalnya nulis untuk story. Tapi ah udalah posting di blog aja hahahaha
-ast-
ah selalu deh tulisannya bikin kesentil. aku yg sebagai orang thinking langsung berpikir banyak atas uang, pencapaian dan kebahagian selama ini pas baca post ini.
ReplyDeletekenapa ya jadi orang dewasa itu sulit, seketika kangen masa kuliah atau sekolah yg tujuan hidup semata mata cuma dapet nilai bagus disekolah biar orang tua senang karena udah biayain mahal. Engga punya uang banyak, cuma buat jajan, ongkos, dan beli pulsa cukup kalau mau beli skincare mahal sampe nabung 3 bulan ikhlas dan senang. Sekarang udah kerja, tanggung jawab banyak, duit ada tapi kok yg harus dipenuhi juga banyak, terkadang uang jadi pelampiasan kelelahan bekerja, akhirnya habis juga karena kok engga puas dan bahagia juga pas duitnya habis dan udah punya barang di tangan
Can't agree more with this, teh icha. Setelah nikah dan punya anak aku juga mulai memutuskan not giving a damn about society standard. Dulu mikirnya bahagia itu punya rumah instagrammable, punya mobil bagus, outfit fashionable, weekend-an ke tempat2 keren, beli2 sesuatu yang hype, berprestasi di bidang tertentu, inspire orang lain, disukai banyak org, etc, etc. Tapi ternyata ngga gitu 😀 Ga semua orang punya 'privilege' supaya bisa hidup seperti itu. Betul kata teteh, kenapa ga mendefinisikan bahagia sendiri aja daripada harus matok orang lain. For me, punya suami yg baik dan menafkahi dgn cukup walaupun ga tajir melintir, itu privilege. Punya anak perempuan yg pintar dan aktif, itu privilege (walaupun suka pengen nyerah juga kalau lagi tantrum lol). Masih bisa ngemall, jajan-jajan, groceries shopping, punya me time, piknik tipis2, itu privilege. Bisa nabung little by little. Punya mertua yang ga macem2. Jadi who cares lah kalau orang lain punya rumah dan mobil keren, tampilan make up dan outfit paripurna, liburan kesana kemari, atau nambah2 anak 😅 Karena apa yang perlu dipusingkan kalau sebetulnya kita hidup baik2 aja dan ga kekurangan hehe.
ReplyDeleteCakep banget tulisannya, Cha! Udah pernah mengalami fase kerja yang kudu lembur every single night dan berakhir dengan tepar. Akhirnya resign karena merasa gaji nggak worth it dengan pengorbanannya.
ReplyDeleteKak Annisa, kenapa tulisanmu selalu realistis sih. ku bacanya sambil "eh ko bener, hhhmm iya juga ya" love banget deh
ReplyDeleteYes and No.
ReplyDeleteSetuju banget soal money cant buy happiness dan tentang betapa hidup adalah pilihan. Tapi ga setuju soal cara memandang orang lain yang terkesan "maksa" beli rumah, atau rebut2an beli hijab merk X. Balik lagi bukan, hidup adalah pilihan dan pilihan itu masing2? Menurut standar kamu salah, tapi menurut banyak orang lain sah2 aja, because why not? Jadi ya biar aja, itu pilihan mereka.
Semua hal dalam hidup itu trade off, you get some you lose some.
Beli rumah jauh misalnya karna terpaksa, pulang lebih malam, ada rugi nya. Ga beli2 rumah tapi ngontrak yg deket dan cepet sampe rumah juga ada loh rugi nya. Ketika kita milih A, ga perlu sibuk buktiin bahwa B itu salah. Itu aja sih.
Aku itu mengajak untuk mempertanyakan pilihan itu sendiri. Apa benar ini yang AKU mau? Atau ternyata ini orang lain yang mau? Karena kenyataannya banyak yang beli rumah sampai nyicil mau nangis karena dipaksa orangtua, padahal dia sendiri nggak mau beli rumah. Malah ada yang tiba-tiba ortunya DP lalu dia disuruh nyicil. BUANYAKKKK. Nggak bisa bilang "nggak" itu bukan masalah pilihan, tapi masalah berani nggak kita menyuarakan pilihan yang emang datang dari hati kita dan nggak dipengaruhi orang lain?
Delete