[MAJOR SPOILER ALERT]
Hari itu hari Jumat, 12 Juli 2019, sudah jam 6 sore. Saya capek sekali sampai rasanya tak punya lagi energi untuk naik ojek ke rumah. Saya siap-siap pulang dan akan memesan taksi online, sampai Esti, anak kantor, mendekat dan mengajak nonton “Dua Garis Biru” yang baru tayang di hari kedua.
Baca versi Nahla: Dua Garis Biru, Sedihnya Sebelah Mana Sih?
dan versi Gesi: Dua Garis Biru, Oh So Relatable
Saya belum melihat trailernya sama sekali, hanya tahu ini film tentang anak SMA yang hamil saat sekolah tapi langsung bilang AYO dengan hanya bermodal testimoni Ernest Prakasa yang datang saat premier dan memuji film ini. Well, saya suka semua film Ernest dan kalau dia bilang bagus maka filmnya sudah pasti bagus.
Little did I know that I would walk home after the movie with bloating eyes and a massive headache. Tears raced down my face until the Apple watch sent 2 notifications for me to breathe throughout the movie, no kidding.
Setelah nonton, yang saya lakukan adalah membuat sebanyak mungkin orang di sekitar saya nonton. Dimulai dari JG yang saya intilin terus sepanjang hari sepanjang malam dan maksa dia dengerin cerita saya soal Dua Garis Biru. Berhasil, detik dia bilang ok langsung beli lagi tiketnya dan nonton lagi deh berdua hahahaha. Seminggu setelahnya, di rumah playlistnya OST film ini terus. Berdua nggak bisa move on sampai di chat di mana pun ngomonginnya Dara dan Bima.
T__________T
Anyway the movie is so … depressing. Kalau nggak dikasih bumbu humor dikit (aka Asri Welas) bisa gila sih keluar dari bioskop.
T__________T
Gini, untuk urusan nangis-nangis di bioskop mah saya emang cemen. Nonton Keluarga Cemara nangis, nonton Avengers: Endgame apalagi. Tapi biasanya nangis karena EMPATI. Nangis karena ih sedih banget sih hidup DIA. Atau kalau Endgame sih sedih karena sori banget Capt, udah bertahun-tahun kita hidup bersama lho kok kamu begitu? KESEL. MAKA NANGIS.
Kalau “Dua Garis Biru” nangisnya karena terlalu relatable. It might be you, that could be me, it could be all of us. Hal sederhana yang sebetulnya mungkin pernah terjadi pada kakak kita, tetangga, sahabat, bahkan diri kita sendiri. Bukan tidak mungkin terjadi pada anak-anak kita juga.
Dulu sex education versi ibu saya selalu “kalau hamil duluan, perempuan yang akan paling rugi!” plus omelan tiap ada artis nikah siri “nikah siri itu perempuan yang akan paling rugi”.
Dulu saya mikir “halah rugi karena nggak dapet harta gono-gini doang kalau nikah siri”. Sebuah pemikiran sempit karena di usia 30 tahun ini, dengan banyak teman bercerai, saya baru tahu kalau cerai dan berbagi harta gono-gini adalah kemewahan. Tidak semua orang rela membagi dua harta. Malah ada yang anak saja tidak mau dibagi: Kamu saja yang urus, kita kan cerai maka bye kamu dan anak-anakku. :))))
*
Oke, seperti biasa kalau bahas film versi saya, kita akan bahas per karakter biar puaassss.
Di film ini kita bisa lihat reaksi lingkungan saat ada satu anak hamil sebelum waktunya. Dulu saya pikir “halah anaknya aja yang bego, bandel sih makanya hamil”. Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Ada orangtua yang merasa gagal, ada kakak yang kecewa, ada adik yang bingung, ada tetangga yang bicara di depan, ada yang bicara di belakang, ada konflik batin aborsi, bagaimana sekolah dan teman-teman memperlakukan, dan ada masa depan yang dipertaruhkan.
Hamil saat belum menikah, bukan sekadar omelan “bikin malu keluarga”. Dan jelas bukan sekadar jargon “married by accident”, tiga kata itu terlalu sederhana untuk menggambarkan situasi semacam ini. Pernikahan jadi porsi sangat kecil dari semua konflik yang ada, “hanya” karena satu perempuan hamil di usia terlalu muda. Nikah dengan berantem-berantem kecil juga cuma pemanis karena masalah di depan mata jauh lebih besar daripada suami main game terus.
Tak heran, film ini lewat riset panjang selama 9 tahun! Gina S Noer mengubur skenario ini dulu setelah pitching pada produser Chand Parwez Servia. Ia berusaha mencari sutradara lain, merasakan sendiri dulu jadi orangtua dengan dua anak, bahkan sempat ikut kelas bersama Najeela Shihab sampai akhirnya setuju untuk menyutradari ini sendiri karena Chand Parwez keukeuh harus dia sutradaranya. Sebagai perempuan dan ibu, ia sukses menulis dan merepresentasikan pesan film ini dengan gamblang.
Keluarga Bima
Beberapa review film ini yang saya baca, menyebutkan (dan memuji) kesenjangan sosial di film ini yang tampak begitu nyata. Buat saya, kesenjangan itu dibuat tidak mengada-ngada karena bukan versi FTV anak kaya raya dengan pos security di rumah vs keluarga security itu sendiri. Nope. Nggak segitunya.
Keluarga Bima digambarkan dari kalangan menengah ke bawah, rumahnya di pinggir kali tapi tidak sekumuh itu. Bapaknya pensiunan (saya berasumsi pensiunan PNS) sehingga untuk menambah penghasilan pasca pensiun, ibunya membuka warung gado-gado di rumah. Tapi mereka tidak digambarkan sangat sangat miskin. PAS. Kita pasti punya teman dengan kondisi ekonomi seperti ini. Bisa kuliah tapi nggak bisa kalau harus swasta, apalagi di luar kota. Bisa makan layak, tapi kalau mobil ya tidak terbeli.
Pakaian yang mereka pakai rapi dan selayak ibu-ibu kelas menengah ke bawah. Tidak dibuat kumuh apalagi lusuh. Rapi dan sopan. Mampu naik taksi online ke mana-mana. Mampu berbicara dan membela diri tanpa tunduk pada orang yang lebih punya kuasa.
Saya terkesan dengan pakaian Cut Mini (ibu Bima) dan Rachel Amanda (kakak Bima) yang seperti teman kita dan ibunya sehari-hari! Rachel tidak berjilbab tapi stelan jilbab dan bajunya di film ini akrab sekali dengan keseharian saya. Rachel bisa jadi teman SMA kita, teman kita di kantor, atau pacarnya teman kita. Sebuah peran yang dekat sekali rasanya.
Keluarga Bima melewati masalah ini dengan diskusi sebagai keluarga. Meski kadang panas tapi mereka berdiskusi baik buruk segala keputusan di depan Bima. Bima dilibatkan, kakak Bima juga ditanya pendapatnya, bahkan si calon bayi saja diperhitungkan dalam tiap keputusan. Mereka berhasil melewati konflik ini sebagai satu keluarga utuh.
Keluarga Dara
Seperti Bima, keluarga Dara digambarkan lebih kaya tapi tidak sekaya itu juga. Iya betul rumahnya digambarkan punya bath tub dan kolam renang, tapi well, mereka kelas menengah juga. Menengah ke atas. :)
Restoran ayahnya diceritakan sering sepi, ibunya working class biasa. Corporate (or agency lol) slave yang keluar kantor sebentar saja ditelepon terus-terusan (semacam JG HAHA). Pulangnya hampir selalu malam, tasnya pun bukan tas desainer mahal. Tidak pernah ganti pula.
Plus dari pembicaraan Dara soal beasiswa mereka ya hidup berkecukupan. Teman-teman saya yang betul punya uang sih saat bicara kuliah di luar negeri YA BAYAR SENDIRI. Pembicaraan beasiswa biasanya hanya terjadi pada kaum kelas menengah yang mampu sih bayar biaya hidup di sana, tapi tidak bisa kalau harus juga membayar kuliah.
Adik Dara juga selayak anak-anak Jakarta lain di lingkungan saya. Lesnya cuma gymnastic dan berenang di akhir pekan. Ingat, kalau keluarga kalangan atas kan lesnya berkuda dengan kuda milik sendiri pula lol.
Yang paling berkesan adalah bagaimana Dara dan ibunya (Lulu Tobing) satu rumah tapi berjauhan. Satu rumah, serasa akrab, cie-ciein pacar, TAPI TIDAK. Seperti dekat tapi sebetulnya ia tidak tahu apa-apa soal hidup Dara kecuali peduli pada masa depannya. Tipikal ibu-ibu yang well-planned, mikirin sekolah dan les anak-anak berakhir dengan “MAMA PIKIR KAMU BISA MAMA ANDALKAN!”. WOW CHILL, SHE’S ONLY 17!
Dibanding keluarga Bima, keluarga Dara berjalan mengambil keputusan sendiri-sendiri. Mama Dara merasa berhak mengambil keputusan mencari orangtua adopsi, bahkan tanpa persetujuan Dara. Semua berjalan masing-masing, antara papa dan mama Dara saja tidak pernah satu suara. Perkara beli baju bayi saja harus bertengkar dulu wow.
Dua keluarga ini mewakili keluarga di dunia nyata. Memang ada jenis keluarga seperti itu kan?
Dara
Anak pintar, cantik, jatuh cinta karena Bima gemesin banget meskipun bodoh nggak ada dua. :)))) Baikan setelah ngambek cuma karena ditutupin kepalanya takut kena matahari itu khas anak SMA banget. BEEN THERE LOL.
Tiap Dara berantem sama mamanya saya flashback banget pas SMA emang kerjaan berantem terus sama ibu hahahahahaha.
Dan somehow saya ngertiiii banget kenapa dia labil. Mau aborsi, lalu tidak mau aborsi. Mau kasih anak ke Tante Lia, lalu tidak mau kasih anak ke Tante Lia. Mau cerai lalu tidak mau cerai. Yang ia tau, mau dengan pasti hanya ke Korea. Anak umur segitu diberi pilihan untuk menentukan hidup ya memang susah. :((((
Aktingnya Zara no comment sih since dia Sunda banget gitu jadi menurut saya natural-natural aja (KATANYA NO COMMENT LOL). Zara pas banget jadi Dara karena kita ditunjukkan bahwa anak lugu dan juara kelas, bukan tidak mungkin terpeleset kesalahan.
Adegan dheg Dara itu saat dr. Fiza Hatta bertanya “sudah diajarkan di sekolah?” Dan mukanya bingung, menggeleng. Kaya pengen bilang: Dok, kalau diajari di sekolah saya pasti nggak hamil. T_________T
Mama Dara
WAH LULU TOBING SIH GIMANA YAAAA. Bagussss banget, tek-tokan ketus berantemnya sama Dara kaya beneran. HUHU.
Mama: “Jadi orangtua itu selamanya!”
Dara: “Oya?! Terus kenapa kemarin mama ninggalin aku?!”
Saya: *CRYYYYY*
Scene ter-cry karena itu skenario saya dan JG sejak Bebe masih di perut. Kalau sampai dia hamilin anak orang lain dan anak itu diusir ibunya, maka anak itu ya akan kita bawa ke rumahlah gimana lagi. Kami punya skenario detail sekali (yang beda sama film) tapi begitu dihadapkan dalam bentuk film, PARAH SIH NANGIS. T_________T
Ibu Bima: “Bima sedang belajar jadi ayah”
Mama Dara: “ANAK SAYA SUDAH JADI IBU! DARA SUDAH JADI IBU SEJAK DIA HAMIL!”
Saya: *NANGIS BANJIR*
T___________T
Lulu Tobing jadi sosok ibu yang merasa keluarganya sudah sempurna karena ia atur sedetail mungkin. Ia merasa peduli masa depan, merasa peduli pacar anaknya lalu nanya jadiannya kapan padahal ternyata tidak sepeduli itu. Merasa mengerti anaknya maunya apa padahal nanya dan ngajak diskusi aja nggak pernah. Merasa paling tahu, merasa paling jadi orang dewasa, padahal seperti yang dia bilang sendiri “SAYA AJA GAGAL JADI ORANGTUA!”
Well, people, please don’t be like mama Dara ok!
Tante Lia dan Om Adi
Sejujurnya saya setuju sih sama keputusan mama Dara untuk ngasihin anaknya ke Tante Lia dan Om Adi. TAPI YA DISKUSI DULU DONG. Suruh Dara bikin pros cons anak dikasih ke Tante Lia dan Om Adi dibanding dikasih ke Bima. Suruh Dara diskusi sama Bima dan Bima harus bikin pros cons juga. Daripada itu bayi diurus di kampung kumuh gitu sorry to say MAU DIKASIH MAKAN APA? MAU SEKOLAH DI MANA? Masa depan si anak gimana?
Tante Lia dan Om Adi juga plis jangan rese. Ngana nggak punya anak, ada yang mau ngasih ya nggak usah ngaku-ngaku itu anak sendiri gila apa gimana. Biar aja misal manggil Tante Lia - Om Adi dengan ayah ibu, sementara si anak manggil Bima Dara dengan Baba - Bunda. Kenapa sih ngatur anak yang belum lahir hih. Anak sendiri juga bukan udah ngatur.
KESEL BANGET SAMA PERAN MEREKA INI. Ngingetin banget kalau ini film huh.
Bima
ANGGA ALDI YUNANDA INI SAPOSEEEE. Pertama kali liat mukanya ya di film Dua Garis Biru. Begitu tau dia anak sinetron dan FTV saya rada meremehkan karena meh anak TV (aku kan anak YouTube, YouTube, lebih dari TV boom! LOL) Padahal aktingnya gila bagus banget! Dia diem aja ekspresinya bisa marah, sedih, bingung, gitu sih. Nggak jomplang sama sekali sama Cut Mini dan Lulu Tobing.
Bima selayak crush waktu SMA yang rasanya akan kita perjuangkan selamanya. Yang dia acak-acak rambut aja kita kepikirannya seminggu. And by “selamanya”, I mean 3 tahun mentok deh selama SMA doang HAHAHAHAHA.
Yang nyesss dari peran Bima adalah, betapa Dara merasa lebih dekat pada Bima dibanding pada orangtuanya. Jadi ketika ditanya bertubi-tubi “kamu dipaksa (have sex) kan sama dia?!” Alih-alih bilang “iya” agar orangtuanya tidak tambah marah, Dara malah bilang “aku sayang sama Bima” karena memang SAYANG HUHU.
Sesayang itu lho Bima sama Dara. Ini tipe-tipe cowok yang akan bener-bener gila dan butuh didampingi kalau diputusin sama ceweknya. Tipe-tipe yang akan mengurung diri di kamar berhari-hari karena sekalinya sayang ya sayang banget, sekalinya bye ya merasa hidup runtuh.
Lalu bajunya natural banget! Dekil kaya anak SMA dari perkampungan yang nongkrong di pinggir kali. Kalau dia nongkrong beneran sama bang siapa tuh yang dia tanya tempat aborsi, itu kaya beneran banget. Nggak mengada-ngada sama sekali. Jaket sampai celananya juga wajar dan hari-hari banget huhu sedetail ituuuu film ini dipikirnnya.
Ibu Bima
Aktingnya sih jangan ditanya. Cut Mini pasti melewati riset sangat panjang karena jangankan cara dia bicara dan marah ya, adegan duduk sila dan menyusun kue dalam kotak aja bikin beberapa teman saya haru dan terkesan karena ya seperti terlalu nyata. Nggak semua orang punya ruang makan besar yang bisa menampung kotak kue sebanyak itu jadi mau nggak mau ya di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga. Hal kecil, sederhana, namun jadi bermakna.
Semua setuju Cut Mini steals the show ya! Kocak tapi sedih, saya ngerti banget kenapa reaksi dai begitu, nggak lebay sama sekali. Adegan ter-cry saat abis solat dia bilang “Kita gagal didik anak laki kita”.
T__________T
Padahal pas mama Dara bilang dia gagal jadi orangtua, saya rasanya pengen “IYA EMANG LU GAGAL” karena kondisinya Dara dan mamanya nggak akrab amat kan. Tapi pas ibu Bima yang ngomong kaya nyesss gitu. Karena dia bingung apa yang salah selama ini? Rasanya Bima nggak kurang apa-apa, rasanya kasih sayang cukup, rasanya curhat-curhat aja sampai pacaran sama siapa juga bapak tau. KOK BISA GINIII? T__________T
Judes-judes tapi sayang keluarga HUHU. Auk ah mau ngomong apa lagi soal Cut Mini. TERBAIKKKK!
Papa Dara dan Bapak Bima
Ini saya gabungin karena keduanya unik dengan style-nya masing-masing. Papa Dara papa urban yang sebetulnya mau lho diskusi sama Dara, cuma mamanya bossy banget dan ngambil keputusan untuk semua orang.
Sementara bapak Bima, pak RT yang dihormati, bijaksana juga mengambil keputusan selalu melibatkan istri DAN KEDUA anaknya. Kita semua kenal dong dengan kedua tipe bapak kaya gini?
Saya respek dan sayang sih sama mereka berdua. Somehow, papa Dara tuh bisa lebih paham Bima dan Dara dibanding mama Dara. Manis banget dia nyuruh Bima berhenti kerja biar fokus sekolah dan muji kerjanya Bima. Manis banget juga waktu dia nawarin anter Dara beli baju bayi. T___________T
Bapak Bima juga, manis banget bapak yang mau dengerin curhat anaknya, dan tetep terima Bima apa adanya. Nangisssss.
Btw kesel deh di akhir trailer itu ada adegan Dwi Sasono ngomong “Dara kayanya ragu, coba kamu ngomong sama dia, ini demi anak kamu juga” TAPI DI FILMNYA NGGAK ADA HELP! Gemes banget pengen nonton yang versi unedited. Katanya editingnya dari 200 menit cuma jadi 120 menit huhu aku mau nonton yang 80 menitnya. :(((
Mbak Dewi
MBAK DEWIIII KESAYANGAN KITA SEMUA. Natural amat sih jadi kakak. Pake baju bahan satin terus pake manset itu duh mbak Dewi adalah perempuan Indonesia berjilbab pada umumnya.
Mbak Dewi jadi pengingat bahwa kalau kamu hamilin anak orang, ada orang yang juga ikutan pusing karena harus menjelaskan pada keluarga calon suaminya. Urusannya bukan cuma masalahmu doang tapi jadi masalah banyak orang.
Si anak pertama yang keras kepala tapi sayang sama adiknya. Senangnya adalah, bapak Bima selalu ingin melibatkan mbak Dewi dalam semua keputusan keluarga. Familiar? :)))
Puput
Puput (Maisha Kanna) ini sosok penting karena sepanjang film kita digiring untuk menganggap Dara masih terlalu muda untuk jadi ibu. Tapi sosok Puput mengingatkan kita, Dara memang masih kecil, tapi ia seharusnya bisa jadi sosok kakak bagi Puput. Gimana sih jelasinnya ah. Yang jelas tiap Puput muncul saya seperti diingatkan bahwa pantas Dara dianggap sebagai kakak yang dewasa bermasa depan cerah ceria karena si mama membandingkannya dengan Puput yang masih harus diantar les ini itu.
Maisha juga aktingnya makin bagussss dibanding waktu jadi Sam di Kulari Ke Pantai. Pas banget jadi kakak adik sama Zara.
Scene UKS
Ini scene paling diomongin karena one shot ya, pake latihan segala dan video latihannya sampai saya lihat berulang-ulang. Dalam satu scene kita dikasih tahu kalau Bima dan Dara memang jatuh cinta, ada dua pasang orangtua yang merasa gagal, dan betapa orangtua perempuan hampir pasti selalu menyalahkan anak laki-laki yang menghamili anaknya.
Kaya sering banget kan denger ayah-ayah atau kakak laki-laki yang “siap bunuh” siapapun yang ngehamilin anak/adik perempuan mereka. Yeee, padahal kalau nggak diperkosa dan having sex with consent sih yang salah pasti salah berdua dong ya. Apalagi emang sejatuh cinta itu. Adil itu memang susah.
Di scene itu juga kita diingatkan kalau menghamili anak orang lain, jalan keluarnya nggak sesederhana jawaban: “Saya mau tanggung jawab”. Karena ketika dibilang “Mulai sekarang!” Lemes udah. Tanggung jawab yang dimaksud itu kaya apa? Menafkahi? Bawa pulang? Beliin kerang? :))))
Mewek maksimal ketika Cut Mini bilang “ANAK KITA! ANAK KITA!!!” saking orangtua Dara menyudutkan Bima dengan bilang “anak kalian” yaitu Bima yang nakal dan bikin Dara jadi nakal.
*
DEMIKIAN RUMPI TENTANG DUA GARIS BIRU. Sebetulnya kalau di dunia nyata, rambling saya masih bisa panjang tapi nulisnya pegel ahhhh.
List pesan bagi remaja setelah nonton film ini selain sex education tentang kondisi fisik yang belum siap hamil:
- Sekolah belum tentu akan berpihak padamu. Sekolah nggak akan encourage kamu untuk tetap sekolah meski nilai kamu sangat sangat bagus :((((
- Kalau kamu perempuan, cita-cita kamu memang masih bisa dikejar meski hamil. Tapi bahkan kamu belum tentu bisa ketemu anakmu lagi. ANAKMU SENDIRI. Anak yang nggak bisa kamu punya lagi di masa depan.
- Kalau kamu laki-laki, lihat apa yang kamu lakukan sama anak dan keluarga orang lain. Sebaik-baiknya kamu, segimana pun kamu bilang kamu akan tanggung jawab, ada hal-hal di luar kuasamu dan satu keluarga hancur karena kamu. Kamu lho yang harus tandatangan operasi karena yang operasi ISTRIMU. Kalau nggak nikah yang akan tandatangan persetujuan operasi kan akan orangtuanya.
- Kepikiran nggak kalau itu anak, nggak salah apa-apa akan jadi oh so called anak haram T_______T
Buat orangtua, banyak-banyakin ngobrol sama anak. Jangan judgmental, jangan menganggap mereka tidak tahu apa-apa tapi jangan pula menganggap mereka tahu segalanya. Sebaliknya, jangan menganggap kita sudah tahu semuanya karena TIDAK. Sex education for all!
sukaaaa banget sama peran Pong ini karena misterius :') |
Suka film ini, namun sampe skrg aku masih penasaran siapakah pong itu? Menjadi misteri yg tidak terpecahkan 😂
ReplyDeleteTerima kasih spoiler-nya! Karena aku nggak bakal nonton ke bioskop, jadi duduk manis aja nunggu keluar di situs streaming lol
ReplyDeleteWaktu nonton trailer-nya aja aku udah deg-degan sendiri entah mengapa, mudah-mudahan aku kuat nonton sendirian nanti ahahaha
samaa bgt, keluar bioskop mata bengep dan jd pilek gr2 nangis :')
ReplyDeletemakasih spoilernyaa,
ReplyDeleteaku juga yang gak nonton ke bioskop..
tapi setuju banget,, hamil diluar nikah tuh gak gampang..
apalagi buat anak SMA
uwuuuw
ReplyDeletebanyak sudut pandang yang lumayang tercerahkan setelah baca ini, hehe
btw, typo kak:
Somehow, papa "Bima" tuh bisa lebih paham Bima dan Dara dibanding mama Dara. Manis banget dia nyuruh Bima berhenti kerja biar fokus sekolah dan muji kerjanya Bima. Manis banget juga waktu dia nawarin anter Dara beli baju bayi. T___________T
harusnya Papa Dara kan ya
Gilaaaaak. Begitu film selesai, langsung jd bengong sama suamik ��. Mama dara dan mama bima relate banget. Aku & suamik jd ngebayangin, gmn perasaannya kalo jadi mama & papa dara. Huwaaah rasanya beban mental��.
ReplyDeleteTapi si mungkin kalo aku jd mama dara, begitu anak hamil (na'udzubillahimindzalik) ya dibawa pulang lah, masa diusir. Uhuhu gak setega itu kyknya.
Btw suka banget adegan UKS itu, apalagi yg pas bilang "Kamu pikir gampang jadi orang tua? Saya aja gagal jadi orang tua." Perasaan kegagalan yg JLEB banget..... ������
Ini tulisan terpanjang yang kubaca dan ga bosen bacanya sambil mereview rasa kegagalan aku jadi ibu ��..
ReplyDeleteJadi alasan air mata mbrebes mili adalah karena tiap ibu selalu merasa ada yang salah. Bukan hanya karena sekedar anak hamil atau menghamili siapa, tapi juga kenapa dia bisa jahiliah di sekolah, kenapa dia bodoh di matematika sementara saya gape banget dulu.
Terimakasih banyak tulisannya 🙏
sukaa pembahasannyaaa...mau nonton tapi udah deg-degan duluan..
ReplyDeleteIh iyaaaa, aku juga ada yang membekas dimtrailer. Waktu Bima ngobrol berdua ama bapaknya, “aku habis ngelakuin kesalahan besar.’
ReplyDeleteTrus bapak Bima bilang, “emang sebesar apa sih?”
KAGAK ADA DI FILM HUHUHUHU