Sempurna, satu kata yang mengganggu saya akhir-akhir ini.
Seperti seorang teman yang saya tahu sangat sangat akrab dengan sang ayah. Sampai sekarang meski sudah menikah, ia tetap tinggal serumah dengan kedua orangtuanya. Sempat mengontrak rumah namun terlalu banyak kangen pada ayah ibu sehingga seringkali rumah kontrakan itu ditinggal dan tetap pulang ke rumah orangtua.
Sampai saya tahu, ia sejak kecil sering jadi korban kekerasan oleh sang ayah. Saya bingung kok bisa tetap menganggap ayah sebagai ayah yang sempurna? Kenapa?
Menurut teman saya itu, si ayah SELALU punya alasan untuk melakukan kekerasan, plus ayahnya juga sangat penyayang. Seumur hidup ia merasa disayang sampai kalau melakukan kesalahan dan sampai dikasari, ia merasa memang layak untuk diperlakukan kasar meski sampai dipukul.
Ini bukan soal benar salah ya. Siapa saya ini sampai mau menodai hubungan ayah dan anak yang mereka saja menganggap hubungan mereka sempurna. Masa saya yang jadi heboh sendiri dan bilang: Ayah penyayang seharusnya tidak memukul!
No, semua orang punya cara sendiri untuk menjalani hubungan dengan orang lain kan. Bagi saya tidak wajar, bagi orang lain mungkin sangat wajar dan tidak apa-apa. Asal sepakat saja mana yang wajar mana yang tidak wajar.
Jadi kalau begitu, apa definisi sempurna? Apa perlu sempurna didefinisikan?
Selama ini jujur saja, saya selalu berpikir dan menganggap peran saya sebagai ibu sudah sempurna. Saya juga selalu menganggap pernikahan saya sempurna.
Ya memang bullshit kalau kadar kesempurnaan kalian adalah ibu di rumah 24 jam bersama anak dan tidak meng-outsource pengasuhan pada orang lain. Bullshit pula kalau standar kesempurnaan istri adalah mengurus rumah tangga, bukannya bekerja di luar rumah.
Saya menitipkan Bebe pada orang lain seharian penuh, saya tidak pernah memberi makan dia makanan bergizi saat weekend, saya membiarkan dia nonton berjam-jam. Tidak sempurna bagi standar banyak orang tapi bagi standar saya, saya ibu yang sempurna. IDGAF what anyone thinks.
Pun soal pernikahan. Kami bukannya tidak pernah bertengkar sama sekali dan kadang masalahnya bukan masalah kecil. Tapi dari masalah besar saya berpikir berulang-ulang bahwa nggak ada orang yang sempurna, nggak ada pernikahan yang sempurna, tapi kenapa saya tetap menganggap kami tetap sempurna?
I think we balance each other out so when something bad (or reaaallly bad) happens to us, we tolerate it, compromise, communicate, and let it pass. We kinda stuck with each other because I don’t think I can find someone better than him, vice versa.
Apakah jadinya saya menutup mata pada hal-hal lain yang dianggap orang sebagai cacat? Mungkin saja iya dan tidak apa-apa. Apakah jadinya saya halu padahal orang menganggap hidup, peran saya sebagai ibu, dan pernikahan saya banyak masalah? Mungkin saja iya dan ya sudahlah biar saja hahahaha.
Apakah kehaluan akan kesempurnaan ini akan jadi bom waktu yang meledak tiba-tiba? Kalau pun iya, biarlah waktu menjawab. Life is a mystery anyway. :)
(Baca: Menikah dalam Satu Kata)
Meski demikian, saya menganggap keseluruhan hidup saya tentu tidak sempurna. Saya masih punya standar hidup sempurna yang belum saya capai. Sialnya, standar hidup itu terus berganti, terus naik kelas, sehingga entah kapan saya akan menganggap hidup saya sempurna.
Orang boleh bilang hidup saya sudah sempurna, tapi kan yang menjalani saya sendiri, yang tau apa yang saya inginkan ya saya sendiri juga. Jadi terserah orang menilai, saya tetap punya penilaian sendiri dan saya (seringnya) tidak peduli pada penilaian orang. Hahahaha.
Tidak ada standar untuk kesempurnaan. Yang terbaik bisa kita lakukan adalah jadi penyayang bagi sesama. Be a loving parent, be a loving spouse, be a loving daughter, be a loving person.
Tidak apa-apa kamu jadi ibu yang sibuk dan nggak selalu ada buat anak tapi pastikan ketika kamu ada, kamu jadi ibu yang 100% sayang pada anak. Tidak apa-apa kamu jadi istri yang sibuk dan nggak mau masak tapi pastikan suami kamu merasa disayang. Tidak apa-apa kadang lupa jadi ibu dan istri penyayang tapi ketika ingat, langsung lakukan sebaik yang kita bisa.
Tak usah mencari kesempurnaan dengan standar orang lain karena untuk apa. Tak perlu ingin sempurna demi ingin dilihat baik oleh orang lain karena tak ada gunanya.
Just try and try again.
via GIPHY
Demikian tulisan ini jadi pengejawantahan akibat libur terlalu lama jadi mikirin ginian aja lama banget sampai harus ditulis daripada jadi gila.
Selamat berakhir pekan!
-ast-
Seperti seorang teman yang saya tahu sangat sangat akrab dengan sang ayah. Sampai sekarang meski sudah menikah, ia tetap tinggal serumah dengan kedua orangtuanya. Sempat mengontrak rumah namun terlalu banyak kangen pada ayah ibu sehingga seringkali rumah kontrakan itu ditinggal dan tetap pulang ke rumah orangtua.
Sampai saya tahu, ia sejak kecil sering jadi korban kekerasan oleh sang ayah. Saya bingung kok bisa tetap menganggap ayah sebagai ayah yang sempurna? Kenapa?
Menurut teman saya itu, si ayah SELALU punya alasan untuk melakukan kekerasan, plus ayahnya juga sangat penyayang. Seumur hidup ia merasa disayang sampai kalau melakukan kesalahan dan sampai dikasari, ia merasa memang layak untuk diperlakukan kasar meski sampai dipukul.
Ini bukan soal benar salah ya. Siapa saya ini sampai mau menodai hubungan ayah dan anak yang mereka saja menganggap hubungan mereka sempurna. Masa saya yang jadi heboh sendiri dan bilang: Ayah penyayang seharusnya tidak memukul!
No, semua orang punya cara sendiri untuk menjalani hubungan dengan orang lain kan. Bagi saya tidak wajar, bagi orang lain mungkin sangat wajar dan tidak apa-apa. Asal sepakat saja mana yang wajar mana yang tidak wajar.
Jadi kalau begitu, apa definisi sempurna? Apa perlu sempurna didefinisikan?
Selama ini jujur saja, saya selalu berpikir dan menganggap peran saya sebagai ibu sudah sempurna. Saya juga selalu menganggap pernikahan saya sempurna.
Ya memang bullshit kalau kadar kesempurnaan kalian adalah ibu di rumah 24 jam bersama anak dan tidak meng-outsource pengasuhan pada orang lain. Bullshit pula kalau standar kesempurnaan istri adalah mengurus rumah tangga, bukannya bekerja di luar rumah.
Saya menitipkan Bebe pada orang lain seharian penuh, saya tidak pernah memberi makan dia makanan bergizi saat weekend, saya membiarkan dia nonton berjam-jam. Tidak sempurna bagi standar banyak orang tapi bagi standar saya, saya ibu yang sempurna. IDGAF what anyone thinks.
Pun soal pernikahan. Kami bukannya tidak pernah bertengkar sama sekali dan kadang masalahnya bukan masalah kecil. Tapi dari masalah besar saya berpikir berulang-ulang bahwa nggak ada orang yang sempurna, nggak ada pernikahan yang sempurna, tapi kenapa saya tetap menganggap kami tetap sempurna?
I think we balance each other out so when something bad (or reaaallly bad) happens to us, we tolerate it, compromise, communicate, and let it pass. We kinda stuck with each other because I don’t think I can find someone better than him, vice versa.
Apakah jadinya saya menutup mata pada hal-hal lain yang dianggap orang sebagai cacat? Mungkin saja iya dan tidak apa-apa. Apakah jadinya saya halu padahal orang menganggap hidup, peran saya sebagai ibu, dan pernikahan saya banyak masalah? Mungkin saja iya dan ya sudahlah biar saja hahahaha.
Apakah kehaluan akan kesempurnaan ini akan jadi bom waktu yang meledak tiba-tiba? Kalau pun iya, biarlah waktu menjawab. Life is a mystery anyway. :)
(Baca: Menikah dalam Satu Kata)
Meski demikian, saya menganggap keseluruhan hidup saya tentu tidak sempurna. Saya masih punya standar hidup sempurna yang belum saya capai. Sialnya, standar hidup itu terus berganti, terus naik kelas, sehingga entah kapan saya akan menganggap hidup saya sempurna.
Orang boleh bilang hidup saya sudah sempurna, tapi kan yang menjalani saya sendiri, yang tau apa yang saya inginkan ya saya sendiri juga. Jadi terserah orang menilai, saya tetap punya penilaian sendiri dan saya (seringnya) tidak peduli pada penilaian orang. Hahahaha.
Tidak ada standar untuk kesempurnaan. Yang terbaik bisa kita lakukan adalah jadi penyayang bagi sesama. Be a loving parent, be a loving spouse, be a loving daughter, be a loving person.
Tidak apa-apa kamu jadi ibu yang sibuk dan nggak selalu ada buat anak tapi pastikan ketika kamu ada, kamu jadi ibu yang 100% sayang pada anak. Tidak apa-apa kamu jadi istri yang sibuk dan nggak mau masak tapi pastikan suami kamu merasa disayang. Tidak apa-apa kadang lupa jadi ibu dan istri penyayang tapi ketika ingat, langsung lakukan sebaik yang kita bisa.
Tak usah mencari kesempurnaan dengan standar orang lain karena untuk apa. Tak perlu ingin sempurna demi ingin dilihat baik oleh orang lain karena tak ada gunanya.
Just try and try again.
Demikian tulisan ini jadi pengejawantahan akibat libur terlalu lama jadi mikirin ginian aja lama banget sampai harus ditulis daripada jadi gila.
Selamat berakhir pekan!
-ast-
Hai Mba icha, terima kasih sudah mencerahkan isi kepalaku dan selalu jadi "safe place".
ReplyDeleteSelain nontonin foto & video anak, baca artikel dari Mba Icha juga membantu aku refresh pikiran aku yg berantakan, seperti "Oh iya ya. Okay! Let's try again. Fighting!"
Aku masih berusaha untuk jadi orang yg "bodo amat" sama omongan orang lain terutama yg masih dalam lingkungan keluarga dan masih sering komentarin apa yang aku lakukan ke anakku.
Ya... Nasib masih tinggal sama mertua, ibu pekerja dan ditambah lagi ini cucu pertama. Siapin hati & sumpel telinga deh. Kalau udah penat aku minta "time out", gantian suami yang main sama anak dan aku main mobile legend sambil ngemil.
Alhamdulillah si suami selalu mau bantu dan jadi tamengku saat orang tuanya mulai "cross the line"
Maafkan aku yang tetiba curhat.
Thanks a lot Mba Icha <3
-nisa
Aku langsung browsing lho mba dengan keyword, "mendefinisikan sempurna dalam hidup"
ReplyDeleteSoalnya ini sangat menarik!
Lalu aku menemukan artikel dari idntimes sebagai berikut:
Sebenarnya, siapakah yang berhak mendefinisikan standard sempurna?
Coba, pertimbangkan ide ini, "Mungkinkah sebenarnya sempurna itu selalu hadir bersama dengan ketidaksempurnaan?"
... karena ketika seseorang dikatakan sempurna dalam satu hal, belum tentu dia sempurna dalam hal lainnya?
Manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
... dan itu membuat tidak ada satupun manusia yang sempurna!
Sesuatu yang dinilai tidak sempurna tetap bisa menjalankan perannya di dunia ini, dan bahkan mungkin dari titik itulah ia bisa menginspirasi orang lain"
Cukup menarik ya, mba
Gimana menurut, mba Annis?
annarosanna(dot)com