Di satu hari yang sama, topik ini muncul dari beberapa medium berbeda. Pertama dari Nahla di group yang nanya:
“Itu yang Abah Ihsan anak kabur dibiarin itu nggak takut anaknya kenapa-napa ya?"
Buat yang belum tau, Abah Ihsan ini punya Program Sekolah Pengasuhan Anak. Diceritakan Isti di IG storynya (iya diceritain lah, orang saya nggak ikutan hahahaha). Ini IG storynya, lengkapnya bisa dilihat di sini.
Terus saya jawab (ke Nahla), memang membesarkan anak itu kan untuk hidup mandiri. Kalau pun dia tidak kabur dari rumah, kan bisa aja kuliah atau kerja di luar negeri/kota kaya saya gini.
Dulu awal kerja mana ada takutnya, jam 1-2 pagi masih keliaran di Gerbang Pantai Karnaval Ancol nungguin taksi. Yang lewat truk-truk semua, apa nggak takut kenapa-napa?
Takut lah udah pasti. Tapi bahkan kalau anak nggak boleh keluar rumah pun kan pasti banyak momen dia keluar sendiri. Apa nggak takut kenapa-napa? Lha di rumah aja kalau mau takut sih banyak juga bahayanya.
Bisa apa kita manusia? :)
Eh terus lanjut malamnya bahas adik saya yang kantornya jauh dari rumah ibu di Bandung sampai uangnya abis buat ongkos. JG nanya “Kalau itu Bebe, akan kita suruh keluar rumah aja nggak sih biar praktis? Apa akan tetep kita suruh diem di rumah?”
Saya jawab “ya ngekoslah daripada capek di jalan lagian kalau dia kuliah nggak di Jakarta juga dia udah pasti tinggal jauh dari kita kan?”
Ya sudah pasti gimana sih kaliaannnn lol.
Lanjut ke besoknya, seseorang nanya di IG story, baper nggak sih mikirin anak suatu hari lepas dari kita? Saya jawab nggak, saya nggak baperan anaknya. Eh terus ada yang DM ini:
Tidak dicium saya baper, tapi berpisah nggak baper kenapa coba? Karena sejak awal mindsetnya si Bebe akan sekolah di luar negeri hahahaha.
Saya dan JG kan anak rantau (ehm). Saya berpisah dengan orangtua di umur 23 dan saya baik-baik saja. Yailah dari Bandung doang gitu kali kalian mikirnya. Tapi coba aja deh, sebanyak itu orang Bandung yang menolak dan nggak betah kerja di Jakarta karena ya Bandung terlalu nyaman. Lah orang Jakarta yang kuliah di Bandung aja banyak yang nggak bisa move on kok.
Jakarta panas, macet, pengap, sesak, tapi saya ngerasa saya dan JG nggak bakal bisa kaya gini kalau kami tetap di Bandung. Nggak akan push ourselves this hard kalau kami tetap di Bandung. Karena apa motivasinya?
Di Jakarta, motivasinya adalah “duh kenapa kita nobody sih ayo lakukan sesuatu biar dikenal orang” gitu. Kalau di Bandung lha setengah populasi aja kami dan keluarga kenal kok HAHAHA.
Nah, itu sebabnya saat punya anak, kami berdua udah sepakat bahwa Bebe harus sekolah di luar negeri. Ya Bebe kan anak Jakarta, mau ke mana lagi dia biar bisa termotivasi. Kami yang anak Bandung sih receh, merantau ke Jakarta aja udah ngerasa sukses LOL.
Begitu tau Kaesang Pangarep pindah sekolah di Singapur waktu SMP kami lebih wow lagi. Langsung kepikiran “APA BEBE SMP DI SINGAPUR JUGA YA?” HAHAHAHAHAHA. Monmaap ortunya emang ambisius kalau soal pendidikan. Doakan uangnya nyampe aja dong!
Kalau SMP saya masih mikirin sih karena ih masih kecil. Apa saya ikut pindah Singapur juga? Hahahaha. Kalau SMA ya kasihlah, kaya Iqbaal gitu kan keren amaaattt. Malah excited kalau memang suatu hari Bebe SMA di Amerika kaya Iqbaal khawatir pasti iya, tapi bangga banget dong pasti. Makanya Bebe memang udah di-brainwash untuk kuliah di luar meski sekarang kalau ditanya dia maunya sekolah di Amerika biar ketemu Ryan. *tetep*
Dan soal perpisahan ini kan hal yang sangat umum. Oke saya dan JG mindsetnya sekolah di luar, tapi kan banyak juga orangtua yang emang cita-citanya pesantrenin anak. Berpisah juga kan tinggal di asrama. Kalau pun nggak, pasti ada masanya dia punya keinginan untuk keluar dari rumah sih, menikah atau tidak menikah.
IYA DONG?
Jadi bertanya-tanya sama diri sendiri, akan kesepian nggak ya saya di masa depan? Hayo jangan suruh tambah anak, mau anak 1 atau anak 5 juga bisa aja tinggal sendiri di masa depan.
Kaya almarhumah nenek saya, anaknya 5, tapi maunya tinggal sendiri. Justru saya liat nenek memang menikmati kesendiriannya, nggak dikhawatirin anak-anak terus, nggak diatur ini itu, dan yang terpenting: bisa akhirnya sendiri setelah berpuluh-puluh tahun urus keluarga. (Baca: Nenek)
Kalau kata mbak Nuniek, ada yang namanya prinsip 3 topi dalam parenting ini saya suka banget karena orangtua zaman dulu banyak yang failed banget nih di sini.
1. Controller hat: Topi ini dipakai saat anak umur 1-10 tahun. Nurture deh intinya, apa yang boleh apa yang tidak boleh, beri contoh nyata.
2. Coaching hat: Topi ini dipakai ketika anak berusia 11-19 tahun, karena pelatih jadi kita mantau aja nggak ikut main. Pelatih harus menginspirasi tapi sebisa mungkin sudah tidak menginstruksi.
3. Consultant hat: Topi ini dipakai ketika anak sudah 20 ke atas. Anak sudah dewasa jadi seperti layaknya konsultan di perusahaan-perusahaan, orangtua diharapkan memberi masukan HANYA KETIKA DIMINTA. Lha iya mana ada konsultan tiba-tiba datang terus nasehatin ini itu.
Orangtua zaman dulu biasanya nggak ngerti nih soal ini makanya seumur hidup mereka pake controller hat. Seumur hidup mengontrol anak padahal anak tumbuh, peran orangtua juga berubah. Makanya heboh deh urusan mertua menantu selalu jadi topik hot.
Jadi mungkin yang dibutuhkan adalah rencana masa depan mau ngapain. Karena pasti ada momen ih kok kemarin aku mendidik anak sekarang kok mati gaya karena udah di fase coaching hat? Kok mati gaya karena dia punya istri? :)))))
Hayo dipikirin dari sekarang. Hahahaha.
-ast-