Note: Seperti postingan lalu dan terdahulu, saya tidak akan bicara dari sisi agama. Yang tetap mau bahas dari sisi agama silakan lho, tapi bahaslah di blog kalian sendiri ya. Saya tidak akan diskusi atau membalas komentar yang tidak setuju dengan dasar agama.
Ada nggak kalian yang seumur hidupnya terjebak stereotype sampai stres berat? Saya kenal dua orang yang sangat dekat dengan hidup saya.
Pertama, JG. Saat ketemu dan pacaran sama saya, JG dalam kondisi terjebak stereotype berat. Berat karena mengakibatkan nangis berbulan-bulan karena selalu punya perasaan akan gagal sebagai laki-laki.
Dia terjebak pada stereotype:
- Laki-laki itu harus bertanggungjawab pada keluarga (padahal ya keluarga tanggung jawab suami dan istri lah)
- Laki-laki harus bisa mencari uang untuk bertahan hidup anak dan istri (ya manusia harus punya cara untuk bertahan hidup sih, bukan cuma laki-laki)
- Laki-laki harus kuat dan tidak boleh menangis (BOLEHHHH LAHHH SIAPA BILANG NGGAK BOLEH)
Kedua, Nahla. Sampai sekarang Nahla masih terjebak perempuan harus anggun. Makanya dia princess banget, ketawa aja nutup mulut, ngomong pelan, jalan pelan. Bertolak belakang banget sama Gesi hahaha. Dia terjebak dalam perempuan harus diam di rumah, perempuan tidak boleh pulang malam, perempuan harus ini dan itu yang sebetulnya nggak HARUS juga sih.
Baca cerita Nahla di sini ya: Sekat itu Bernama Stereotyping
Stereotype ini memang dibentuk oleh banyak hal. Lingkungan kita dibesarkan, budaya, pengalaman, dan banyak lagi. Keberadaannya juga kadang memang tidak disadari.
Karena nggak disadari, ada stereotypes yang rasanya “biasa aja”. Yang jadi topik omongan sehari-hari.
Contoh:
“duh anak kecil tau apa sih” - tau banyak lho mereka
“dokter mah udah pasti kaya” - ya dokter apa dan di mana dulu
Ada juga stereotypes yang NGGAK disadari. Kadang kita nggak sadar kita punya stereotype itu sampai ketemu di momennya sendiri. CMIIW YAAA.
Contoh:
“Aduh ada orang kulit item, jahat nggak ya dia, jangan-jangan dagang narkoba” - YA BELUM TENTULAHHH.
“Tanya agama sama dia aja deh dia kan pake jilbab” - hey, siapa tahu dia pakai jilbab karena males bad hair day dan bukan karena alasan agama?
Kenapa stereotype bisa muncul? Banyak, karena konsep “fitrah”, karena pengalaman, karena berita, karena trauma, banyak banget sih faktornya. Yang jelas, yang namanya stereotype itu BELUM TENTU BENAR. Belum tentu salah tapi belum tentu akurat.
Jadi apa nggak boleh stereotyping orang?
For me, it’s not a good thing. That’s why people say “Oh I’m sorry for stereotyping”
BECAUSE STEREOTYPING KILLS.
(wow ngomongnya serem)
Berapa banyak black people di Amerika yang ditembak sama polisi karena “dicurigai” melakukan kejahatan padahal sebenernya nggak? Malah ada yang ditembak di halaman belakang rumah neneknya sendiri karena diduga pegang senjata, pas diperiksa ternyata yang dia pegang cuma HP. Kalau orang kulit putih nggak bakal lah ditembak di tempat gitu.
Itu karena stereotype “orang kulit hitam = lebih mungkin melakukan tindak kejahatan”. Dan dari data Washington Post (cari sendiri) berdasarkan statistik dari tahun ke tahun dan dari jumlah populasi, orang kulit hitam juga lebih mungkin ditembak di tempat dibanding orang kulit putih. Hence the hashtag #BlackLivesMatter
Oke Amerika kejauhan.
Berapa banyak perempuan etnis Tionghoa di Indonesia diperkosa entah dengan alasan apa selain ras saat 1998? BANYAK.
Karena apa coba? Karena stereotype mereka kaya dan menjajah perekonomian Indonesia padahal mereka bukan pribumi. Jadi ketika ada kemarahan pada sesuatu dan butuh pelampiasan, mereka melampiaskan pada kambing hitam yang padahal belum tentu bersalah.
Padahal stereotype Tionghoa ini dibangun SENGAJA oleh penguasa sejak zaman Belanda dan kekuasaan Sultan Jawa. Baca lengkapnya di artikel Tirto ini ya.
"ADUH CONTOHNYA KENAPA BERAT BANGET, KAK"
Oke kita buat lebih ringan.
“Bawel banget ih kaya cewek aja” - cerewet atau tidak, bergantung pada kesukaan kita berbicara *melirik JG*
“Perempuan suka ngatur” - IYA SUKA BANGET LHO SAMPAI BOS-BOS DI KANTOR ITU KEBANYAKAN PEREMPUAN HUFT.
“Perempuan yang bajunya kebuka itu pelacur” - ini stereotype yang setara dengan cadar itu teroris lho!
“Laki-laki itu kuat” - manusia harus kuat, bos
“Laki-laki kok mau-maunya ngurus rumah tangga sih” - lho iya dong asal yang diurus rumah tangganya sendiri dan bukan rumah tangga orang lain kan
(SUDAH DIBAHAS DALAM POSTINGAN INI: Laki-laki Itu Manusia. Postingan itu juga sebetulnya bahas stereotyping tapi nggak saya jembreng aja)
Gimana kalau stereotype-nya baik? They say even good stereotype is bad. Karena jadinya ada standar tertentu dan manusia tidak perlu standar yang sama untuk hampir semua hal.
"Tapi kalau stereotype baik yang dibunuh apa, kak? Kan nggak menghilangkan nyawa?"
Yang dibunuh adalah kepercayaan diri, penghargaan pada kerja keras, dan perasaan gagal.
Contoh stereotype:
“Orang Chinese jago dagang”
Kalau nggak sukses dagang: “Lo Cina kok nggak bisa dagang sih?” — lho ya apakah harus? Apakah kalau Cina tidak dagang maka dia gagal?
Kalau ada yang sukses dagang: “Ya wajarlah jago dagang, dia kan Cina!” — pendapat ini jelas mengecilkan orang lain. Lha emang sukses ditentukan sama ras? Kok kerja kerasnya nggak dihargai?
Stereotype bisa bikin orang kecewa juga sama diri sendiri.
“Kamu kan cewek Bandung kok nggak cantik sih? Katanya cewek Bandung cantik-cantik” — HUHUHUHU *merasa gagal*
“Kamu kan tinggi kok nggak jago basket sih?” — HUHUHUHU *merasa tidak berguna*
“Kamu kan bule kok kamu kere?” — HUHUHUHU *BINGUNG*
Kalau orangnya berani beropini ya gampang tinggal dibales aja lebih judes, selesai perkara. Atau ya udah sih cuekin aja kok gitu aja baper. Ya bisa aja. Tapi risky kan, kita nggak tahu persis efek apa yang akan dialami orang dari stereotype yang kita omongin di depan muka dia.
Apalagi kalau orangnya fragile dan banyak masalah, kata-kata stereotype itu bisa bikin stres banget dan ya, lead to depression.
Stereotype juga bisa jadi mengejutkan
Misal “lulusan universitas A udah pasti pinter”
Pas nemu yang nggak pinter langsung shock parah “kok kamu lulusan uni A tapi otaknya kurang sih?”
Stereotype bisa jadi pembenaran yang tidak perlu
"Yah namanya juga cewek, wajarlah boros karena suka belanja"
"Namanya juga cewek, wajar dong kalau cemburuan"
"Namanya juga cewek, nggak apa-apa dong nggak bisa ambil keputusan"
Pembenaran banget ya.
*
Susah ya? SUSAAAHHH. Saya juga nggak bisa 100% kok dan itu wajar banget. Tapi sebisa mungkin kurang-kurangin lah. Minimal di socmed dan di ruang publik aja dulu.
Karena stereotype-nya sendiri bisa jadi seperti benar karena didukung oleh data. Contohnya: laki-laki itu kasar karena menurut data, KDRT memang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.
Tapi bagaimana jika mindset-nya dibalik? Bagaimana kalau laki-laki kasar karena mereka merasa berhak kasar sebagai laki-laki. Mereka jadi terjebak stereotype laki-laki itu kasar dan tidak perlu lembut, karena lembut itu perempuan.
Karena kenyataannya laki-laki yang tidak kasar juga banyak, cuma nggak dilaporkan aja kan? Kalau didata, banyakan laki-laki tidak kasar kan dibanding laki-laki kasar?
PUSING PUSING DEH LO SEMUA.
Jadi yuk, pelan-pelan coba berhenti menerapkan standar yang sama pada manusia. Manusia nggak harus hidup dengan standar yang sama kok. Manusia tidak perlu menjadi ini dan itu hanya karena lingkungan mengharuskannya. Manusia boleh menjadi apapun yang ia inginkan.
Dan kamu, kamu, serta kamu *tunjuk satu-satu* berhenti berasumsi kalau semua orang JUGA menerapkan standar yang sama dengan diri kalian sendiri. Ok!
-ast-
PS: Nextnya pengen naik kelas dari stereotype jadi generalisasi simpulan. Model “jika A maka B”. Kesel banget juga sama generalisasi semacam ini. Tapi next time ya!
Kamu kurus amat? Ga pernah makan? Cacingan ya? Ga bahagia ya? Kebanyakam mikir sih, mikirin apa sih? Gak sejahtera ya hidupnya? Pasti kamu sakit-sakitan deh?
ReplyDeleteHahahaahahahahaaa
Stereotype versi di aku.
Kalau aku ngalamin yg “org cina jago dagang” duduh, gak semua org cina jago dagang, yang namanya org kan keahliannya beda-beda, cuma senyumin aja org yg nyeletuk kaya gitu
ReplyDeleteOrang betawi??? Kontrakan ny banyak donk? Tanah ny lebar donk?. Atw pantes gk bleh pergi jauh2 (merantau) bontot seh.. Hadehhh ganggu bngt. Gk smua betawi atw anak bontot bgtu kan yah?
ReplyDeletePernah mengalami hal beginian, tentu orang mempunyai sudut pandang berbeda ya
ReplyDeleteDulu pas aku SMA, sekolah bahkan pernah ngundang psikolog dan dibikin sesi khusus seharian penuh biar murid diajarin untuk ga stereotype-in gender. Kebetulan sekolah kami memang perempuan semua, jadi secara khusus ditekankan banget soal gender stereotyping - bahwa ga ada istilahnya perempuan harus gini lakilaki harus gitu, karena perbedaan perempuan dan lakilaki ya murni di organ tubuhnya aja. Sifat dan karakter mah dibangun oleh sosial. Rasanya ini juga ngaruh ya ke ras, agama, dan stereotyping lainnya. Ughh sesi itu membekas banget dan masih susah juga ga stereotype-in orang, sungguh pembelajaran seumur hidup sih ini kayanya :)) Anyway thank you for sharing, suka sekali dengan tulisannya as always!
ReplyDeleteHuhuhu... iya banget mbak. stereotype tu sering bikin stress :(
ReplyDeleteSedihnya, aku kayaknya juga masih mayan sering deh main stereotype. Jadi merasa bersalah :(
Akuuu! Lulusan pondok langsung dipandang wah pinter ngaji, alim, dll. Padahal mah aku enggaaak 😂 huhuhu. I’m not into religious thing kalo dibandingin ma temen2ku. Sama-sama mondok tapi kadar relijius orang tetep beda-beda, kan? :(
ReplyDelete