Pas banget ya nulis ini lagi Pilkada. Tapi saya nggak akan ngomongin soal Pilkada. Saya mau ngomongin hal yang lebih luas lagi dan membutuhkan hati yang jauh lebih lapang lagi.
Yaitu tentang "kebebasan memilih".
Cuma dua kata ya, banyak disepelekan pula. Padahal kayanya susaaaahhhh sekali diterapkan untuk semua lini kehidupan. Kebebasan ini bukan cuma soal agama atau politik tapi untuk segala hal. Dari agama, pekerjaan, keputusan menikah, keputusan punya anak, dan banyak lagi.
Saya belajar, terus mengingatkan diri sendiri untuk tidak bilang “ini lho yang paling baik”. Ya saya share banyak soal parenting, tapi saya nggak pernah lho memaksakan kalian untuk ikut apa yang saya lakukan. Kalau ada yang message dan bilang nggak bisa atau susah jalanin tipsnya, saya selalu bilang "iya kan pilihan".
Karena ya emang pilihan sih. Saya nggak maksa, kalian nggak perlu merasa terpaksa juga. Sharing saya itu tujuannya cuma untuk memperkenalkan pendapat baru yang mungkin udah pernah kalian denger, mungkin juga belum pernah. Pada akhirnya, penerapannya ya kembali ke kalian juga.
Yang jelas, saya selalu netral. Atau minimal saya sudah sangat berusaha netral. Kalau ikutin blog ini dari dulu mungkin kerasa ya, dalam beberapa hal saya sangat sangat netral seperti tulisan soal selingkuh dan pelakor. Tapi dalam hal lain saya bisa emosi dan melepeh orang lain hanya karena saya kesal pada orang yang "harus-harusin orang lain". Harusnya begini lho, harusnya kan begitu. Siapa sih yang bilang harus?
Seperti soal ASI. Saya pro ASI, saya menyusui sampai anak saya 3 tahun. Tapi saya nggak pernah mengharuskan orang lain untuk seperti itu juga. Memberi ASI itu PILIHAN apalagi untuk ibu bekerja ya. Pilihan jungkir balik pumping siang malam atau ya kasih susu formula aja demi kewarasan ibu. Buat saya, mending ibu waras yang bahagia mengurus anak dengan susu formula daripada ibu yang stres dan nggak happy karena ngorbanin segalanya demi ASI.
Kalau ngasih ASI bikin kamu bahagia meski nggak tidur, ya go ahead. Tapi kalau jam tidur terganggu karena pumping bikin kamu senggol bacok dan jadi depresi ya nggak usah. Kalau kamu stres karena ASI nggak keluar, ya usahakan dulu lah ke konselor atau minum suplemen. Tapi kalau ke konselor bikin tambah stres, ya udahlah nggak ada yang jamin anak ASI juga akan selamanya sehat dan akan lebih sukses dibanding anak sufor kok. Yakin aja sama pilihan kalian.
Buat saya, segalanya sesederhana itu. Sesederhana tidak menyakiti orang lain atas pilihan yang mereka ambil. We're not in their shoes, who are we to judge?
Pun soal menikah dan punya anak. Menikah, belum menikah, tidak menikah, menikah dan nggak mau punya anak, menikah dengan satu anak, menikah dengan banyak anak. Mau bertahan di pernikahan yang toxic atau cerai aja. Nggak apa-apa banget. Bebas-bebas aja asal ya bertanggung jawab dengan pilihannya dan nggak merugikan orang lain.
(Lebih lengkap soal pilihan menikah pernah saya tulis di sini: Menikah itu Bukan Life Goals)
Tapi ya namanya manusia, emang pasti ada aja kok mempertanyakan keputusan orang lain. Kalau itu terjadi, bahas sama orang terdekat aja, ngobrol sama sahabat atau suami. BUKAN confront langsung ke orangnya. Apalagi kalau nggak seakrab itu sama orangnya. Duh, takut cuma bikin sakit hati.
Intinya plis, jangan jadi bigot. Bigot bukan cuma soal agama. Bigot bisa dari sesederhana bilang “kamu nggak nikah-nikah emang nggak kesepian?" atau "lho punya anak kok cuma satu, kenapa nggak mau nambah lagi?" atau "ih anaknya kok pake dot?" ke orang yang nggak kamu kenal-kenal banget.
Atau justru kalian memilih untuk jadi bigot? HHHH. Kok nggak boleh jadi bigot? Ya karena kalian nggak menghargai pilihan orang lain.
Jangan menilai hidup orang dari standar moral yang kita punya. Jangan memaksa hidup orang atas apa yang kita percaya. Semua orang kan punya sudut pandang yang beda soal hidup, kenapa harus dipaksa sama?
Semua cerita punya banyak sisi, semua masalah juga punya banyak sudut pandang, hanya karena kita merasa benar, bukan berarti orang lain salah. Hanya karena kita percaya hitam, sisi lain nggak berarti melulu putih. Dunia nggak sesaklek itu.
And for you, don't let the society dictate what you do. Don't let them define you. You have your own life, you are enough.
-ast-
Yaitu tentang "kebebasan memilih".
Cuma dua kata ya, banyak disepelekan pula. Padahal kayanya susaaaahhhh sekali diterapkan untuk semua lini kehidupan. Kebebasan ini bukan cuma soal agama atau politik tapi untuk segala hal. Dari agama, pekerjaan, keputusan menikah, keputusan punya anak, dan banyak lagi.
Saya belajar, terus mengingatkan diri sendiri untuk tidak bilang “ini lho yang paling baik”. Ya saya share banyak soal parenting, tapi saya nggak pernah lho memaksakan kalian untuk ikut apa yang saya lakukan. Kalau ada yang message dan bilang nggak bisa atau susah jalanin tipsnya, saya selalu bilang "iya kan pilihan".
Karena ya emang pilihan sih. Saya nggak maksa, kalian nggak perlu merasa terpaksa juga. Sharing saya itu tujuannya cuma untuk memperkenalkan pendapat baru yang mungkin udah pernah kalian denger, mungkin juga belum pernah. Pada akhirnya, penerapannya ya kembali ke kalian juga.
Yang jelas, saya selalu netral. Atau minimal saya sudah sangat berusaha netral. Kalau ikutin blog ini dari dulu mungkin kerasa ya, dalam beberapa hal saya sangat sangat netral seperti tulisan soal selingkuh dan pelakor. Tapi dalam hal lain saya bisa emosi dan melepeh orang lain hanya karena saya kesal pada orang yang "harus-harusin orang lain". Harusnya begini lho, harusnya kan begitu. Siapa sih yang bilang harus?
Seperti soal ASI. Saya pro ASI, saya menyusui sampai anak saya 3 tahun. Tapi saya nggak pernah mengharuskan orang lain untuk seperti itu juga. Memberi ASI itu PILIHAN apalagi untuk ibu bekerja ya. Pilihan jungkir balik pumping siang malam atau ya kasih susu formula aja demi kewarasan ibu. Buat saya, mending ibu waras yang bahagia mengurus anak dengan susu formula daripada ibu yang stres dan nggak happy karena ngorbanin segalanya demi ASI.
Kalau ngasih ASI bikin kamu bahagia meski nggak tidur, ya go ahead. Tapi kalau jam tidur terganggu karena pumping bikin kamu senggol bacok dan jadi depresi ya nggak usah. Kalau kamu stres karena ASI nggak keluar, ya usahakan dulu lah ke konselor atau minum suplemen. Tapi kalau ke konselor bikin tambah stres, ya udahlah nggak ada yang jamin anak ASI juga akan selamanya sehat dan akan lebih sukses dibanding anak sufor kok. Yakin aja sama pilihan kalian.
Buat saya, segalanya sesederhana itu. Sesederhana tidak menyakiti orang lain atas pilihan yang mereka ambil. We're not in their shoes, who are we to judge?
Pun soal menikah dan punya anak. Menikah, belum menikah, tidak menikah, menikah dan nggak mau punya anak, menikah dengan satu anak, menikah dengan banyak anak. Mau bertahan di pernikahan yang toxic atau cerai aja. Nggak apa-apa banget. Bebas-bebas aja asal ya bertanggung jawab dengan pilihannya dan nggak merugikan orang lain.
(Lebih lengkap soal pilihan menikah pernah saya tulis di sini: Menikah itu Bukan Life Goals)
Tapi ya namanya manusia, emang pasti ada aja kok mempertanyakan keputusan orang lain. Kalau itu terjadi, bahas sama orang terdekat aja, ngobrol sama sahabat atau suami. BUKAN confront langsung ke orangnya. Apalagi kalau nggak seakrab itu sama orangnya. Duh, takut cuma bikin sakit hati.
Intinya plis, jangan jadi bigot. Bigot bukan cuma soal agama. Bigot bisa dari sesederhana bilang “kamu nggak nikah-nikah emang nggak kesepian?" atau "lho punya anak kok cuma satu, kenapa nggak mau nambah lagi?" atau "ih anaknya kok pake dot?" ke orang yang nggak kamu kenal-kenal banget.
Atau justru kalian memilih untuk jadi bigot? HHHH. Kok nggak boleh jadi bigot? Ya karena kalian nggak menghargai pilihan orang lain.
Jangan menilai hidup orang dari standar moral yang kita punya. Jangan memaksa hidup orang atas apa yang kita percaya. Semua orang kan punya sudut pandang yang beda soal hidup, kenapa harus dipaksa sama?
Semua cerita punya banyak sisi, semua masalah juga punya banyak sudut pandang, hanya karena kita merasa benar, bukan berarti orang lain salah. Hanya karena kita percaya hitam, sisi lain nggak berarti melulu putih. Dunia nggak sesaklek itu.
And for you, don't let the society dictate what you do. Don't let them define you. You have your own life, you are enough.
-ast-