*Ini draft lama, dari 24 Mei 2017 yang belum dipublish. Entah dulu kenapa marah-marah gini, pasti ada triggernya. Kemudian karena isinya marah-marah jadi diendapkan ... dan kemudian lupa hahaha. Publish ajalah ya sayang juga diem di draft doang ;)*
Iya sih emang nggak ada yang bilang jadi ibu itu gampang. Tapi pasti baru tau SEGITU susahnya jadi ibu setelah anaknya lahir ya? Iyalaahhh.
Pas nikah pasti banyaaakk banget yang tujuannya punya anak. Padahal nggak tau juga punya anak itu kaya apa. Mungkin itu yang namanya maternal instinct.
Iya ada kan orang-orang yang memang nggak pengen punya anak. Nggak pernah punya perasaan ingin punya anak dan itu TIDAK APA-APA. Karena jadi ibu itu susah, jangan memaksakan diri jadi ibu hanya karena orang-orang bilang eh kok kamu nggak punya anak? Atau hanya karena orang bilang sekarang saatnya punya anak.
No, nikah aja persiapannya panjang kok, jadi wajar kalau memutuskan punya anak setelah berpikir panjang.
Dan ini bukan masalah rezeki ya jadi tolong tidak dijawab dengan anak lahir dengan rezekinya sendiri. Bukan itu, beda konteks. Namanya orang usaha, rezeki pasti mengikuti lah. Tapi punya anak kan nggak sepenuhnya masalah khawatir akan rezeki.
Anak lahir sebagai tanggung jawab kita. Bagaimana kita akan didik dia? Bagaimana akan mengajari dia sopan santun? Bagaimana mengajari dia menghormati perempuan? Bagaimana mengajari dia toleransi agar tidak jadi bigot?
Jadi ya, punya anak BUTUH persiapan ilmu akan hal-hal itu. Jadi ibu itu butuh persiapan mental meskipun nggak bisa gladi resik dulu! Nggak bisa tes skenario dulu. nggak bisa reading dulu. Punya anak itu langsung performance, langsung syuting dalam one take. Nggak bisa retake, yang ada hanya penyesalan. *sigh*
Di situ beratnya.
Apalagi untuk ibu-ibu tengah kaya saya gini ya. Tengah dalam artian, nggak kaya banget, nggak miskin banget. Nggak idealis banget sampai segala organik tapi nggak serampangan juga sampai MPASI umur 3 hari. Realistis tapi masih pengen ideal gitu lah.
Ada di tengah-tengah dan itu emang kampret sih. Dan bikin kepikiran.
Karena tentu ingin jadi ibu terbaik bagi anak kan, tapi mau ideal banget juga kok ... capek yaaa. Gagal konsisten jadinya, kemudian muncul pemikiran "ah ya udalah gini juga nggak apa-apa kok". Beberapa minggu kemudian sedih sendiri "gue jadi ibu kok nggak konsisten banget ya"
T_________T
Dan tekanan datang dari diri sendiri karena diri sendiri yang perfeksionis ini susah sekali tidak membandingkan dengan ibu lain. Ibu lain kok gitu, kok gue nggak bisa banget ya begitu. Si X hebat deh anaknya nggak kenal gadget sampai sekarang umur 5 tahun. Si Y hebat banget deh anaknya lima homeschooling semua, gue kok nggak bakal sanggup ya kayanya.
Kemudian nyerah di awal dan berbuah penyesalan-penyesalan kecil. Penyesalan ini bisa dihapus dengan "ya udalah" tapi masih kepikiran dikit HAHAHAHAHA.
Pertanyaan ini pasti pernah mampir di kepala: apa kita ibu yang baik?
Kata orang, seorang ibu pasti ibu terbaik buat anaknya. Tapi kok kayanya belum tentu ya. Soalnya banyak juga ibu yang jahat sama anaknya. Tapi kan kita nggak jahat. Tapi anak kok lebih mau makan sama mbak dibanding sama kita?
HHHHH.
Mau detoks gadget tapi kita sendiri nggak mampu detoks gadget. Mau lebih sering main di luar tapi kok ya kita sendirinya juga capek harus ngejar-ngejar dia outdoor. Ingin homeschooling, baca buku sebelum tidur aja ngantuk banget rasanya.
Jadi realistis rasanya lebih susah setelah jadi ibu. Karena segala jungkir-balik yang kita lalui tiap hari itu bukan lagi karena kita ingin lulus SPMB atau sidang skripsi, segala tujuan akhirnya bukan diri kita, tapi akan jadi apa anak kita.
Kemudian merasa gagal. Kemudian mulai datang penyesalan.
Padahal, sadarilah. Keputusan untuk anak sebaiknya diambil setelah pemikiran yang matang. Jadi kalau dulu ngasih gadget, ya mungkin karena ada kebutuhan itu. Lihat alasan di baliknya, apa dulu mampu kalau tanpa gadget?
Nggak mampu kan? Kalau dulu nggak mampu tanpa gadget, maka sekarang anak ketergantungan gadget adalah risiko yang kita hadapi atas waktu-waktu yang didapat dari masa lalu.
Jadi bisa mikir "ah tapi kalau dulu nggak ngasih gadget juga ga mungkin makan, masa laper terus, nanti stres. Kalau stres nanti malah nggak waras ngadepin anak" Jadi tidak perlu menyesal, karena dulu gadget itu membantu.
Saya sih jarang menyesal sama segala sesuatu karena jarang mengambil keputusan impulsif. Jadi dipikirkan dulu. Waktu pertama kali ngasih gadget ke anak ya pertimbangannya karena ... karena kenapa nggak? Hahaha.
Belum lagi kalau marahin anak bukan karena salah dia tapi karena kita yang capek. Duh anak nggak salah apa-apa jadi kena bentak. Padahal sendirinya paling bisa bilang ke anak "tidak perlu sambil marah dong mintanya!"
Huhu.
Karena ini saya nggak berani untuk punya anak lagi. Tanggung jawab yang terlalu besar. What if I screw them up? What if I screw OUR LIFE up?
Komentar paling nggak sopan dan jahat dari segala urusan nambah anak: "nanti kalau ada apa-apa (read: anaknya meninggal) nyesel loh" LIKE HELLO PEOPLE. JADI PUNYA DUA ANAK ITU BACK UP IN CASE YANG SATU MENINGGAL?
No. Jadi ibu adalah pengalaman batin, biarkan saya menikmatinya. Biarkan kalian menikmatinya. Jangan pernah bertanya kapan akan punya anak, jangan pernah bertanya kapan punya anak kedua, ketiga dan seterusnya. Kalau ada yang tetep nanya maka musuhin lol.
Selamat hari Jumat!
Btw ini part 1-nya: Susahnya Jadi Ibu ...
-ast-
PS: Karena ini tulisan lama, jadi banyak soal gadget sebagai pelarian. Sekarang Bebe udah nggak ketergantungan gadget lagi. Minggu depan saya cerita proses detoksnya ya!