Saya tidak bicara dari sudut pandang agama ya. Kalau mau dilihat dengan sudut pandang agama apapun silakan, tapi mungkin tidak akan sesuai. :)
Di usia saya sekarang, lingkungan pertemanan saya rata-rata sudah menikah dengan dua anak. Usianya memang sudah masuk untuk punya dua anak. Usia ideal bagi society, belum tentu ideal bagi diri sendiri karena toh pada kenyataannya jumlah anak tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan rumah tangga.
Ada yang terus menerus bertengkar karena suami selingkuh berkali-kali tapi tetap hamil lagi, made up sex that only made the baby but not the family. Bayinya jadi tapi hubungan suami istri tetap berantakan. Anak kedua pula. Istrinya nggak kerja pun.
Ada pula yang memaksa menikah padahal tidak satu prinsip dengan calon suami, dengan alasan berharap suami bisa membawa ke kehidupan yang lebih baik. Tapi ternyata tidak. Bagaimana bisa kalau definisi "hidup lebih baik"-nya pun berbeda? Hidup bersama orang yang tidak satu value itu melelahkan. Mau bercerai kok ya suami terlalu sempurna? Punya alasan apa?
Ada yang suaminya mendadak mengubah janji setelah menikah. Bayangan menikah menyenangkan jadi sebaliknya. Me time jalan-jalan dengan teman setelah semingguan mengurus dua anak tidak diberi izin. Padahal sebelum menikah sudah ditanya bolehkah ini dan itu, jawabannya selalu boleh.
Bahkan hal "sesederhana" melarang istri bekerja saja bisa jadi urusan panjang jika istrinya memang tipe yang senang bekerja dan tidak bisa hanya diam di rumah. Belum lagi urusan mertua, urusan sekolah anak, urusan suami yang tidak mau bantu pekerjaan rumah tangga, suami yang tidak mau dititipi anak, dan buanyak lagi.
(Baca: Beda Prinsip Lebih Baik Tidak Jadi Nikah Loh!)
Kalau mendengar cerita-cerita ketidakbahagiaan dalam pernikahan saya selalu merasa bersalah karena masih suka ngeluh hahaha. Meski satu prinsip pada segala hal, ya kami juga punya masalah kecil yang padahal bisa diabaikan. Padahal dibandingkan masalah orang lain sih duh remeh banget. Untuk hal-hal lain yang besar dan melelahkan, so far kami selalu satu suara.
Menghadapi Bebe, maka kami vs Bebe, menghadapi mertua dan keluarga saya maka kami vs mertua dan keluarga. Itu yang membuat kehidupan pernikahan saya rasanya tidak serumit orang-orang. Orang-orang yang seumuran saya loh ya, yang baru menikah 5 tahunan.
Karena banyak ya ternyata yang suami selalu membela ibunya dibanding istri. Pokoknya istri harus nurut ibu aja mau ibunya logis apa nggak. "Kamu nurut lah sama ibu aku!" Wow wow. Kenapa nggak kita diskusikan dulu berdua kemudian ambil keputusan BERDUA dan jelaskan ke mertua hasil keputusan BERDUA itu? Kan kamu nikahnya sama aku bukan sama ibu kamu?
T________T
Padahal mertua nyuruhnya itu punya anak lagi meski anak pertama masih kecil, biar capek sekalian katanya. Istri nurut ajalaahhh. Duh sakit kepala mikirinnya. Punya anak ya, mau sekarang mau nanti ya sama-sama capek. Kan terserah yang mau ngelahirin dong kapan mau beranak lagi. Kalau suami dan ibunya berkomplot nyuruh punya anak sementara yang hamil masih keberatan masa dipaksa? Emang perempuan hidup cuma buat jadi medium beranak doang?
T________T
DAN INI TRUE STORY. Semua contoh di atas tadi cerita beneran. Dari orang yang nikah baru 3-5 tahun! Nikah baru 3-5 tahun aja repotnya udah kaya gini wow. Kalau kata Nahla, bayangkan harus hidup kaya gitu 50 tahun lagi.
Karena sering denger curhat model seperti ini, maka sekarang kalau ada orang bilang duh pengen buru-buru nikah, saya dan JG pasti kompak bilang "Yakinnn? Duh pikir-pikir dulu lah". Dan kami serius soal itu. Kami tidak mau kalian jadi orang berikutnya yang curhat karena "nikah kok gini amat ya". Hiks.
Pusing ya? Iya nikah itu pusing banget, complicated.
Dan ya, orang-orang menikah ini selalu bicara pernikahan seolah menikah adalah sesuatu yang paling menyenangkan di dunia! Well, no, except you find the perfect one.
Katanya "nikah aja nggak apa-apa, iya sih pusing, tapi enaknya juga banyak" YA ITU KAN ELO. Saya sih nggak berani menyarankan orang menikah hanya karena pernikahan saya baik-baik saja. Ya saya baik-baik aja, orang lain? Kan belum tentu.
(Baca: Selingkuh dan Pelakor)
Banyak yang baik-baik saja tapi banyak juga yang berusaha terlihat baik-baik saja. Banyak yang tampak mesra di social media padahal menangis setiap malam. Banyak yang di luar sama-sama terus, di rumah mah ya masing-masing aja kaya nggak kenal. BANYAK. Banyak yang menikah socially bukan personally.
Karena sejak awal, banyak yang pernikahannya itu soal "social acceptance". Ya dalam tanda kutip. Menikah karena tertekan lingkungan, menikah karena memang merasa sudah usianya harus menikah, menikah karena keluarga meminta menikah, menikah karena ya mau ngapain lagi bro, semua temen udah nikah. Ya nggak tau, ngapain kek, keliling dunia mungkin?
Makanya menentukan tujuan menikah itu penting dibicarakan sejak awal. Oiya kita mau nikah, apa tujuannya?
Misal tujuan menikahnya adalah "melanjutkan keturunan" maka setelah menikah target berikutnya adalah punya anak dong? Terus ternyata nggak dikasih anak. Jadinya logis kan kalau salah satu minta cerai karena nggak bisa punya anak? Atau misal kalau istrinya yang ternyata punya masalah kesehatan, jadi logis dong kalau suami minta poligami? Ya karena memang tujuan awalnya kan melanjutkan keturunan.
Saran saya sih cari yang tujuannya hidup bersama selamanya deh. Nonton film Test Pack sama calon pasangan, tanya pendapatnya kalau itu terjadi sama kalian. Bukan promosi, tapi film itu ngasih gambaran banget pasangan yang ideal menurut saya. Menurut saya loh yaaa. :)
Tapi tenang dulu, ada kok pasangan yang bener-bener bahagia. Kategori ini pun masih terbagi dua. Hahaha.
Pertama, yang satu prinsip hidup jadinya santai sama segala sesuatu. Perfect match made in heaven. Berantem cuma urusan siapa yang mandi duluan lol. Satu visi misi, nggak saling menuntut suami harusnya gini, istri harusnya gitu!
Kedua, salah satu sebenernya sebel tapi ya udah terima ajalah daripada pusing. Telen aja udah, eh sori, ikhlas aja udah. Namanya juga nikah ya kan, harus saling ikhlas, harus toleran namanya juga dua kepala jadi satu. :)
(Baca: Mengurangi Pertengkaran Rumah Tangga)
Masalahnya, ikhlas itu nggak gampang. Nggak semua orang punya stok ikhlas luber-luber. Ada yang di depan suami dan keluarga sempurna banget sebagai istri dan ibu. Tapi di social media ya ampuuunnn, 180 derajat. Terlihat sekali dia butuh teman untuk bicara, butuh teman untuk berdiskusi. Nyamber sana-sini, komen sana-sini. Kan kasian jadinya.
Atau yang lebih bisa menahan diri biasanya hanya curhat pada sahabat. Keluhan-keluhan yang tidak pernah terbayang karena di luaran sana mereka adalah pasangan sempurna yang bikin iri semua orang. Sahabat-sahabatnya ini yang jadi ikut sedih huhu kasihan tapi nggak bisa bantu banyak juga. :(
Inti dari semua ini adalah. Pikir yang banyak sebelum nikah! Tanya pertanyaan-pertanyaan ini ke calon pasangan! Dan perempuan harus mandiri, tidak mandiri, tidak mau punya penghasilan tidak apa-apa tapi siapkan storage untuk ikhlas yang banyak yaaa. :)
Kalau setelah ini kalian jadi ragu menikah, bagus dong. Keraguan akan jadi kehati-hatian, dan menikah adalah keputusan yang harus diambil dengan hati-hati. Percayalah bahwa dengan ragu dan hati-hati, kalian akan menemukan seseorang yang bisa berbagi prinsip hidup selamanya. Menjalani hidup tanpa jadi orang lain, tanpa harus selalu bersembunyi di balik kata ikhlas.
Karena sesungguhnya, keikhlasan tidak diperlukan lagi di sebuah hubungan yang berbagi prinsip hidup yang sama. Your life would be so much easier. Toleransi pasti ada, tapi sungguh di hal-hal yang sangat kecil sampai tidak pantas disematkan sebagai sebuah keikhlasan. :)
Untuk kalian yang belum menikah, merasa menikah terlambat, tidak menikah, atau sudah berhenti menikah, hal apapun tentang pernikahan tidak mengurangi sedikit pun dari harga kalian di dunia ini. You're all worth it.
Selamat hari Senin! Baca tulisan tentang pernikahan lainnya di sini ya! Tentang Nikah
-ast-
Untuk kesayangan aku, @jago_gerlong. Terima kasih untuk jadi kamu yang seperti aku. Untuk diskusi masalah yang tidak pernah panjang, untuk pertengkaran yang tidak pernah bermalam, untuk jadi jawaban atas semua kebimbangan. I love you 💛 (TOLONG INI DISCREENCAP DAN BELIIN AKU IPHONE 7 DONG! HAHAHA)
Di usia saya sekarang, lingkungan pertemanan saya rata-rata sudah menikah dengan dua anak. Usianya memang sudah masuk untuk punya dua anak. Usia ideal bagi society, belum tentu ideal bagi diri sendiri karena toh pada kenyataannya jumlah anak tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan rumah tangga.
Ada yang terus menerus bertengkar karena suami selingkuh berkali-kali tapi tetap hamil lagi, made up sex that only made the baby but not the family. Bayinya jadi tapi hubungan suami istri tetap berantakan. Anak kedua pula. Istrinya nggak kerja pun.
Ada pula yang memaksa menikah padahal tidak satu prinsip dengan calon suami, dengan alasan berharap suami bisa membawa ke kehidupan yang lebih baik. Tapi ternyata tidak. Bagaimana bisa kalau definisi "hidup lebih baik"-nya pun berbeda? Hidup bersama orang yang tidak satu value itu melelahkan. Mau bercerai kok ya suami terlalu sempurna? Punya alasan apa?
Ada yang suaminya mendadak mengubah janji setelah menikah. Bayangan menikah menyenangkan jadi sebaliknya. Me time jalan-jalan dengan teman setelah semingguan mengurus dua anak tidak diberi izin. Padahal sebelum menikah sudah ditanya bolehkah ini dan itu, jawabannya selalu boleh.
Bahkan hal "sesederhana" melarang istri bekerja saja bisa jadi urusan panjang jika istrinya memang tipe yang senang bekerja dan tidak bisa hanya diam di rumah. Belum lagi urusan mertua, urusan sekolah anak, urusan suami yang tidak mau bantu pekerjaan rumah tangga, suami yang tidak mau dititipi anak, dan buanyak lagi.
(Baca: Beda Prinsip Lebih Baik Tidak Jadi Nikah Loh!)
Kalau mendengar cerita-cerita ketidakbahagiaan dalam pernikahan saya selalu merasa bersalah karena masih suka ngeluh hahaha. Meski satu prinsip pada segala hal, ya kami juga punya masalah kecil yang padahal bisa diabaikan. Padahal dibandingkan masalah orang lain sih duh remeh banget. Untuk hal-hal lain yang besar dan melelahkan, so far kami selalu satu suara.
Menghadapi Bebe, maka kami vs Bebe, menghadapi mertua dan keluarga saya maka kami vs mertua dan keluarga. Itu yang membuat kehidupan pernikahan saya rasanya tidak serumit orang-orang. Orang-orang yang seumuran saya loh ya, yang baru menikah 5 tahunan.
Karena banyak ya ternyata yang suami selalu membela ibunya dibanding istri. Pokoknya istri harus nurut ibu aja mau ibunya logis apa nggak. "Kamu nurut lah sama ibu aku!" Wow wow. Kenapa nggak kita diskusikan dulu berdua kemudian ambil keputusan BERDUA dan jelaskan ke mertua hasil keputusan BERDUA itu? Kan kamu nikahnya sama aku bukan sama ibu kamu?
T________T
Padahal mertua nyuruhnya itu punya anak lagi meski anak pertama masih kecil, biar capek sekalian katanya. Istri nurut ajalaahhh. Duh sakit kepala mikirinnya. Punya anak ya, mau sekarang mau nanti ya sama-sama capek. Kan terserah yang mau ngelahirin dong kapan mau beranak lagi. Kalau suami dan ibunya berkomplot nyuruh punya anak sementara yang hamil masih keberatan masa dipaksa? Emang perempuan hidup cuma buat jadi medium beranak doang?
T________T
DAN INI TRUE STORY. Semua contoh di atas tadi cerita beneran. Dari orang yang nikah baru 3-5 tahun! Nikah baru 3-5 tahun aja repotnya udah kaya gini wow. Kalau kata Nahla, bayangkan harus hidup kaya gitu 50 tahun lagi.
Karena sering denger curhat model seperti ini, maka sekarang kalau ada orang bilang duh pengen buru-buru nikah, saya dan JG pasti kompak bilang "Yakinnn? Duh pikir-pikir dulu lah". Dan kami serius soal itu. Kami tidak mau kalian jadi orang berikutnya yang curhat karena "nikah kok gini amat ya". Hiks.
Dan ya, orang-orang menikah ini selalu bicara pernikahan seolah menikah adalah sesuatu yang paling menyenangkan di dunia! Well, no, except you find the perfect one.
Katanya "nikah aja nggak apa-apa, iya sih pusing, tapi enaknya juga banyak" YA ITU KAN ELO. Saya sih nggak berani menyarankan orang menikah hanya karena pernikahan saya baik-baik saja. Ya saya baik-baik aja, orang lain? Kan belum tentu.
(Baca: Selingkuh dan Pelakor)
Banyak yang baik-baik saja tapi banyak juga yang berusaha terlihat baik-baik saja. Banyak yang tampak mesra di social media padahal menangis setiap malam. Banyak yang di luar sama-sama terus, di rumah mah ya masing-masing aja kaya nggak kenal. BANYAK. Banyak yang menikah socially bukan personally.
Karena sejak awal, banyak yang pernikahannya itu soal "social acceptance". Ya dalam tanda kutip. Menikah karena tertekan lingkungan, menikah karena memang merasa sudah usianya harus menikah, menikah karena keluarga meminta menikah, menikah karena ya mau ngapain lagi bro, semua temen udah nikah. Ya nggak tau, ngapain kek, keliling dunia mungkin?
Makanya menentukan tujuan menikah itu penting dibicarakan sejak awal. Oiya kita mau nikah, apa tujuannya?
Misal tujuan menikahnya adalah "melanjutkan keturunan" maka setelah menikah target berikutnya adalah punya anak dong? Terus ternyata nggak dikasih anak. Jadinya logis kan kalau salah satu minta cerai karena nggak bisa punya anak? Atau misal kalau istrinya yang ternyata punya masalah kesehatan, jadi logis dong kalau suami minta poligami? Ya karena memang tujuan awalnya kan melanjutkan keturunan.
Saran saya sih cari yang tujuannya hidup bersama selamanya deh. Nonton film Test Pack sama calon pasangan, tanya pendapatnya kalau itu terjadi sama kalian. Bukan promosi, tapi film itu ngasih gambaran banget pasangan yang ideal menurut saya. Menurut saya loh yaaa. :)
Tapi tenang dulu, ada kok pasangan yang bener-bener bahagia. Kategori ini pun masih terbagi dua. Hahaha.
Pertama, yang satu prinsip hidup jadinya santai sama segala sesuatu. Perfect match made in heaven. Berantem cuma urusan siapa yang mandi duluan lol. Satu visi misi, nggak saling menuntut suami harusnya gini, istri harusnya gitu!
Kedua, salah satu sebenernya sebel tapi ya udah terima ajalah daripada pusing. Telen aja udah, eh sori, ikhlas aja udah. Namanya juga nikah ya kan, harus saling ikhlas, harus toleran namanya juga dua kepala jadi satu. :)
(Baca: Mengurangi Pertengkaran Rumah Tangga)
Masalahnya, ikhlas itu nggak gampang. Nggak semua orang punya stok ikhlas luber-luber. Ada yang di depan suami dan keluarga sempurna banget sebagai istri dan ibu. Tapi di social media ya ampuuunnn, 180 derajat. Terlihat sekali dia butuh teman untuk bicara, butuh teman untuk berdiskusi. Nyamber sana-sini, komen sana-sini. Kan kasian jadinya.
Atau yang lebih bisa menahan diri biasanya hanya curhat pada sahabat. Keluhan-keluhan yang tidak pernah terbayang karena di luaran sana mereka adalah pasangan sempurna yang bikin iri semua orang. Sahabat-sahabatnya ini yang jadi ikut sedih huhu kasihan tapi nggak bisa bantu banyak juga. :(
Inti dari semua ini adalah. Pikir yang banyak sebelum nikah! Tanya pertanyaan-pertanyaan ini ke calon pasangan! Dan perempuan harus mandiri, tidak mandiri, tidak mau punya penghasilan tidak apa-apa tapi siapkan storage untuk ikhlas yang banyak yaaa. :)
Kalau setelah ini kalian jadi ragu menikah, bagus dong. Keraguan akan jadi kehati-hatian, dan menikah adalah keputusan yang harus diambil dengan hati-hati. Percayalah bahwa dengan ragu dan hati-hati, kalian akan menemukan seseorang yang bisa berbagi prinsip hidup selamanya. Menjalani hidup tanpa jadi orang lain, tanpa harus selalu bersembunyi di balik kata ikhlas.
Karena sesungguhnya, keikhlasan tidak diperlukan lagi di sebuah hubungan yang berbagi prinsip hidup yang sama. Your life would be so much easier. Toleransi pasti ada, tapi sungguh di hal-hal yang sangat kecil sampai tidak pantas disematkan sebagai sebuah keikhlasan. :)
Untuk kalian yang belum menikah, merasa menikah terlambat, tidak menikah, atau sudah berhenti menikah, hal apapun tentang pernikahan tidak mengurangi sedikit pun dari harga kalian di dunia ini. You're all worth it.
Selamat hari Senin! Baca tulisan tentang pernikahan lainnya di sini ya! Tentang Nikah
-ast-
Untuk kesayangan aku, @jago_gerlong. Terima kasih untuk jadi kamu yang seperti aku. Untuk diskusi masalah yang tidak pernah panjang, untuk pertengkaran yang tidak pernah bermalam, untuk jadi jawaban atas semua kebimbangan. I love you 💛 (TOLONG INI DISCREENCAP DAN BELIIN AKU IPHONE 7 DONG! HAHAHA)
Nice tulisannya teh, as always.
ReplyDeletenonton film test pack sebelum nikah emng wajib hukumnya yaa, aku dulu sebelum nikah jg nonton film ini dan jd bahan diskusi
ReplyDeleteDan memang pernikahan tak akan pernah semulus pahanya ceribel..eeh msh ada gak ya itu cherybell - -"
Test Pack itu ada novelnya kaan? Aku waktu SMA baca novelnya sampe nangis nangis 😂😂
ReplyDeleteTapi belom nonton filmnya deh haha
Menikah, pintu gerbang menuju sejuta masalah (kehidupan), hahaha
ReplyDeleteBagus bgt tulisannya~
ReplyDeleteNgomongin ttg anak jd keinget tuh artis koriya di Return of Superman yang dichallenge pake pregnancy suit sampe nyoba kontraksi biar tahu rasanya jd perempuan hamil&melahirkan 😂
ReplyDeleteduh baca ini jadi pengen curhat, ahahaha. btw aku ini baru umur 22 tp pacaran dah 7 tahun jd udh bosen bgt pacaran tp masih ragu buat nikah lol
ReplyDeletehuwooo habis baca postingan Nahla, lalu baca ini. hmm aku yakin kini berada di jalur yang tepat. being single sampai entah kapan hahahah
ReplyDeleteSetuju setuju setuju! Bagus banget kak on point!
ReplyDeleteAku udah pacaran 8,5 tahun. Umur ku 24 , menurut ku yg lebih dominan, yg lebih cerewet aku. So far , dia sabar bgt ngadepin sikap aku. Tapi aku takutnya kalo udh nikah dia berubah �� Ga sabar ngadepin cerewet nya aku .
ReplyDeleteClosingnya mantab djiwa.
ReplyDeleteteh kenapa bikin postingannya ga taun 2015 aja sblm aku nikah? semua tulisannya ngejleb banget:(
ReplyDeleteEmh skrg tetehnya nyesel udah nikah? Silahkan pilih teh, mau jd tipe pernikahan yg mana. Aku berharap apapun masalah teteh cepet kelar ya, keep ikhlas!! Hahaha
Delete*ngutip tulisannya mba nisa
ReplyDelete"Untuk kalian yang belum menikah, merasa menikah terlambat, tidak menikah, atau sudah berhenti menikah, hal apapun tentang pernikahan tidak mengurangi sedikit pun dari harga kalian di dunia ini. You're all worth it."
Lihat kutipan blog ini bikin gw jadi semakin termotivasi menjalani hidup meski masih jomblo hehe ^^
Emg bener yang namanya nikah itu in reality nya susah, ga seindah foto-foto Instagram.
Lagian yang namanya sosmed kan cuma menggambarkan sisi positif kehidupan orang lain aja.
Iyess ini tulisan sesuai dengan realita kehidupan pernikahan. Kalo aku sama suami sih memang sudah menyamakan prinsip dr awal mbak ica. Dari pernikahan sesederhana suhay salim (dapet protes dr keluarga besar yang ingin mengadakan acara di gedung mewah, mengundang banyak tamu). Kamipun satu prinsip : "ya kalo mau kita nikahan di gedung, kontribusi biaya gedung, catering dan undangan silahkan ditransfer ".
ReplyDeletePas memilih ngontrak dan merencanakan anak, akupun juga se prinsip. Pokoknya kita berdua harus satu prinsip & jadi teamwork. Apapun yg terjadi diluaran sana, kita hadapi sama2 bahkan ketika itu dari keluarga atau mertua.