Yang kenal baik sama saya pasti tau persis kalau saya orangnya pede banget sedunia. Jarang banget ngerasa rendah diri. JARANG loh ya catet, bukannya nggak pernah.
Kalau di circle blogger, dulu saya suka sebel sama yang bilang "da aku mah apa atuh cuma remah-remah blablabla" alias merendahkan diri dan nunjukkin ketidakpercayaan dirinya. Dulu saya sebel karena come on kalau terus menganggap diri remah, kapan mau majunya? Kapan bisa jadi main course-nya? -_____-
Atau ada tipe orang yang lebih baik sesat di jalan karena malu bertanya. WHY? Itu selalu saya pertanyakan. Kenapa mesti malu sih? Kenapa nggak punya kepercayaan diri untuk sekadar nanya sesuatu yang kita nggak tau jawabannya?
Tapi kemudian saya juga ternyata bisa ada di posisi mereka. Ada di posisi di mana saya "kok gue gini doang sih? Kok orang bisa kaya gitu sih?" Dan momen itu bukan momen penyemangat melainkan momen "ah sh*t lah gue nggak bakal mampu kaya dia".
Dan itu menyebalkan.
T_______T
Ini diperparah karena saya orangnya kompetitif banget. Misal saya bisa kesel kagum kalau liat orang seumuran saya yang kerja di New York Times. Ya padahal emang orang Amerika, lahir sampai kuliah di Amerika, ya wajar atuh kan kerja di New York Times masa mau kerja di media lokal Indonesia ya nggak?
Dan akhirnya saya sadar kalau masalah merasa remah ini adalah masalah inferiority. Di kasus saya, semakin sering bertemu atau berinteraksi dengan orang yang saya anggap hebat, maka saya merasa semakin inferior. Dan saya sadar ini tidak baik
Inferiority complex: an unrealistic feeling of general inadequacy caused by actual or supposed inferiority in one sphere, sometimes marked by aggressive behavior in compensation.
Inferiority seperti ini menimbulkan perasaan "if only" alias "coba kalau". Coba kalau ngotot dulu kuliah di Amerika, mungkin sekarang udah jadi editor di New York Times. "Coba kalau" semacam ini bikin stres dan nggak menyelesaikan masalah!
Karena pemikiran berikutnya adalah "ya nggak bisa kuliah di Amerika juga sih orang kurang pinter begini". Kemudian jadi merutuki diri kok kurang pinter sih, apa saya kurang belajar pas sekolah, perasaan udah belajar terus tapi kok nggak sanggup sih kuliah di Amerika. Blablabla. Padahal ngomel itu nggak mengubah hidup.
Sebenernya kalau lagi waras sih saya sadar benar kenapa harus "coba kalau" toh sekarang hidup saya juga nggak susah. Setelah itu saya mau tidak mau harus compare dengan orang lain yang kehidupannya di bawah saya. Dari situ biasanya saya merasa lebih baik karena masih banyak orang yang secara level pendidikan setara dengan saya, tapi kehidupannya nggak seperti kehidupan saya.
( 👉 Baca juga: Kecantikan dan Perempuan Kedua)
Juga yang harus diingat dan saya pikirin banget: kalau terus menerus mengejar standar orang lain, kapan puasnya?
Si A keren banget sih kerja di Google --> apakah jika saya kerja di Google saya akan puas? Atau tetap merasa inferior dengan orang-orang yang kerja di Apple?
Si B kok bisa sih nulis di Huffington Post! --> apakah jika tulisan saya dimuat di Huffington Post, saya akan berhenti merasa inferior pada si B?
Belum tentu kan! Inferiority hanya membuat kita ingin jadi orang lain!
Which is fine sih ya di level tertentu, terutama di level bikin semangat melakukan segala sesuatu. Tapi kalau udah bikin sedih, bikin murung, bikin kepikiran, mungkin saatnya cari bantuan profesional atau minimal cari orang yang bisa diajak bicara dan mengembalikan kepercayaan diri.
Perlu diteliti juga apakah "if only" nya masuk akal? Yang udah gawat itu yang begini "coba kalau dulu nikahnya sama anaknya si A, pasti bisa maternity photoshoot tiap minggu pake fotografer profesional" atau "coba kalau tinggian dikit udah jadi model pasti ah elah". Itu "if only" yang nggak bisa diterima! Hentikan sekarang juga! Jangan terus dipikirin!
Caranya mungkin bisa dengan cari tahu kita jago di bidang apa terus pelajari hal itu sampai jago banget dan bikin kita bangga. Kalau udah bangga sama diri sendiri, pasti inferioritynya berkurang deh. Pasti lebih percaya diri dan nggak lagi menganggap diri sendiri sebagai remahan di dunia.
Tapi ini cuma berlaku untuk orang-orang ambisius ya. Kan banyak juga tuh orang yang lempeng-lempeng aja, nggak ngerasa inferior dan juga nggak ngerasa harus melakukan sesuatu yang lebih hahaha. Nggak apa-apa, santai, yang penting bahagia. Kalian tetap bukan remah kok. 😂
Dan kecuali kalau urusannya uang. Karena kalau udah urusan uang mah udah di luar kehendak banget lah. Masa mau inferior sama keluarga Trump karena mereka lebih kaya. Urusan uang dari turunan keluarga mah lekatnya sama syukur aja, bukan yang lain. :)
( 👉 Baca: Tentang Berpikir Positif)
Nah kalau saya kan suka ngerasa inferior sama orang pintar, kalau JG selalu merasa inferior dengan orang yang gajinya lebih gede. Inferior karena merasa kurang skill hahahaha. Nggak sekali dua kali nelepon saya siang-siang cuma mau bilang.
"Sayang si A gajinya xx puluh juta masa. Kok aku gini-gini aja ya?"
Jawabannya bisa dua:
1. Udah rezekinya 💅
2. Kita nggak tahu kerja keras dia kaya apa. Jujur apa nggak ya urusan dia, tapi intinya kita nggak tau effort apa yang dia keluarin demi kerjaan dengan gaji gede. Kalau ternyata zero effort? Kembali ke poin nomor satu lol. 🙌
Dan saya juga jadi terbiasa melihat "alasan" di balik sesuatu. Misal temen-temen yang liburan terus ternyata keluarganya kaya, yang nggak kaya ternyata hidupnya irit banget. Atau temen-temen yang gajinya gede ternyata kerjanya stand by 24 jam. Yang mana kalau kita lakukan mah nggak mungkin karena males banget astaga hahaha
Atau harus irit seirit apapun, tak mampu juga kan. Jadi ya, kuncinya (kayanya) jalani hidup dengan gembira. Lakukan hal-hal yang bikin bahagia. Sadari bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari kapasitas otak atau jumlah uang di tabungan.
And one thing: stop the 'if only'! *ngomong sama diri sendiri*
Ngerasa inferior atau punya teman yang punya masalah inferior? Share dan tag temennya ya! XD
-ast-
kenapa harus "coba kalau" toh sekarang hidup saya juga nggak susah
ReplyDeleteKAN KAN KAN. Noted banget ini. Thanks Icha, salah satu blogpost yang gue suka. dan pas banget lu publish di hari senin *cium* *geuleuh* #bomat
Nyehehehe.. gue banget tuh yg lempeng banget idupnya. Ngerasa punya skill tpi standar, gak ambisisus. Tapi kadang pengen ini itu dan ngerasa i can do it, even better than her/him. Ujung-ujungnya.... males dan kebawa inferior sama yg udah duluan keren. Huft.. mungkin gw harus lebih ambisius lg 💪🏻
ReplyDeleteSalah satunya ya aku, hehehe.. mengakui sering merasa rendah diri, pdhl sbnrnya kalo dibandingkan, ya gak jelek2 amat, gak bodoh2 amat.. kurang pede tipenya
ReplyDeleteaduh... aku bookmark yah inii.. jawaban dari yang kuasa bangetlah kayaknya hahaha... kemarin2 masih banget kepikiran kok si ini bisa gitu aku enggak, kok si anu dapet itu aku enggak.. tapi sekarang kayaknya udah lebih bisa nerima, karena aku tetap bahagia tanpa itu semua (munkin karena faktor U juga) :D thx ichaaa :-*
ReplyDeleteSuper laaaaaaaaf! ya ampun hawa-hawa positif banget nih di hari Senin ;)
ReplyDeletePadahal ngomel itu nggak mengubah hidup, noted yg ini :D
ReplyDeleteAkuhh kakkk,,, feeling inferior all time. *penyakit emang yaaa hahahaha
ReplyDeleteAda sih temenku yg merasa inferior takut ga dapet jodoh gitu cuma karena....muka dia menurutnya ga cantik ha 😂
ReplyDeletemakanya jalan-jalan hore aja biar hidup hepi...
ReplyDeleteKamuuuu yaaaaa!
ReplyDeletekamu tahu gak, tulisan tulisanmu itu selalu inspiratif!
Padahal kadang kayak "cuma" makan kacang goreng yang gorengannya pas, gak gosong, renyah dan banyak bawang putihnya bertaburan di mana-mana ..
Segitu kamu masih INFERIOR!
But yeah, aku ada di level itu beratus kali, merutuki diri sendiri blah blah blah, sampai aku ada di titik dimana "Lah, kan gue bisa gambar? Ya udah sih, Mungkin Tuhan ciptakan aku untuk menggambar buat beberapa gelintir manusia di muka bumi ini," terus aku semangat belajar dan belajar terus. Hingga kini.
thx tulisannya Stev ^^
Kemarin-kemarin sempat memikirkan yang seperti itu, Mbak. Kenapa dia bisa sehebat itu, sedangkan aku belum atau aku masih segini aja? Tapi sekarang sudah nggak Begitu lagi mikirnya. Saya sibukkan diri aja untuk fokus dengan target yang telah dibuat tanpa terlalu Pusing memikirkan orang lain seperti apa.
ReplyDelete