Seminggu terakhir lagi heboh banget di timeline tentang anak yang tuntut ibunya yang sudah 83 tahun. Tuntutannya nggak main-main, Rp 1,8 miliar! Terus 90% komentar adalah: anak durhaka! Nggak tahu diri!
Oh well.
Yang saya lakukan pertama kali tentu mencari tahu ada apa. Ini kan kasus "unik" ya. Nggak tiap bulan ada anak nuntut orangtua, jadi pasti ada apa-apanya. Dan semakin banyak saya membaca, semakin saya tidak ingin judge siapa-siapa.
Apalagi sejak baca pernyataan si anak, wawancara khusus dengan Kumparan, kalau dia ingin memberi pelajaran pada keluarga yang selama ini selalu memanfaatkan sang ibu.
Khayalan saya begini. KHAYALAN LOH YA INI. *BOLD CAPSLOCK*
Si ibu adalah ibu zaman dulu. Pertama usianya memang sudah sepuh kan, kelahiran 1934 bayangin aja. Umur si ibu 83 tahun, sementara umur Yani (anak yang menuntut) 53 tahun. Beda usia 30 tahun.
Sementara Yani anak kesembilan dari 13 bersaudara. Berarti si ibu menikah muda, langsung punya anak banyak. Ya ibu saya aja nikah umur 25, nenek saya nikah umur 25, saya nikah umur 25. Ini 30 tahun anaknya udah 9 kan.
Mungkin, mungkin dalam perjalanannya si ibu tidak bisa selalu adil. Banyak kan anak sakit hati sama ibunya dan ibunya nggak pernah tahu itu. Mana mah nikah muda dengan banyak anak. Plus anak-anak juga merasa ibunya kaya raya (ini asumsi) jadi memanfaatkan ibunya untuk pinjaman ke bank segala macem. Si ibu dalam rangka "sayang anak" jadi nggak bisa nolak anaknya mau apa.
Cuma Yani ini yang bener usaha, jadi dia sebel sama sodara-sodara lainnya yang selama ini hidup enak doang memanfaatkan si ibu. Sampai Yani dan suami nutup utang kakaknya dulu lah, dikasih kerjaan dulu lah. Selalu ada sodara kita yang nyebelin kaya gitu kan?
Selalu ada anggota keluarga yang terbiasa hidup enak dari orangtua dan merasa selalu ada keluarga yang bantu, jadi hidup enak-enakan. Usaha ganti-ganti, kerja berat dikit ngeluh. Ngutang mulu ke anggota keluarga yang lain. Ngerepotin mulu tapi usaha nggak keliatan. Makanya Yani ini kesel, dia ingin kasih pelajaran sama kakak dan adiknya yang selama ini selalu ngerepotin.
*KHAYALAN SELESAI*
Tulisan setelah ini harap dibaca pelan-pelan. Pelan-pelan ya. Dan saya (seperti biasa) tidak bicara soal agama, saya bicara dari sisi manusia. :)
Satu yang jadi pikiran dan cukup mengganggu saya adalah, kita selalu melihat dari sudut pandang anak durhaka pada orangtua. Pernahkah kita berpikir sebagai orangtua, bahwa kita juga mungkin "durhaka" pada anak?
Apakah semua orangtua menjalankan perannya dengan sangat baik sehingga kita bisa langsung judge semua orang yang tidak baik pada orangtua sebagai anak durhaka? Anaknya keterlaluan, memangnya seorang ibu PASTI tidak keterlaluan pada anak?
"Ya kan orangtua udah ngurus kita dan biayain kita sejak bayi" TRUE. Itu benar. Dan ini tidak perlu dijawab dengan "apa anak pernah minta dilahirkan?" no, tidak sesederhana itu. Tapi ini bisa dirunut sejak awal sekali, sejak kita menikah.
Kita lihat dari sudut pandang kita sebagai orangtua.
Kita menikah, siapa yang bahagia saat strip dua muncul? Siapa yang sangat bahagia belanja peralatan bayi, survey rumah sakit, senam hamil? Sebagian besar orang pasti bahagia lah. Sebagiannya lagi yang kebobolan. Alih-alih bahagia biasanya mereka stres lol.
Siapa yang bahagia ketika anak pertama kali bisa berguling? Bisa jalan? Bisa ngomong "mama" pertama kali? KITA KAN. KITA BAHAGIA. Kita beliin mainan macem-macem dengan alasan biar anak bahagia, padahal kita beliin anak mainan karena kita bahagia liat anak main dengan tenang. Liat anak bahagia punya mainan baru.
Jadi logikanya tolong dibalik, bukan kita yang membuat anak bahagia kemudian suatu hari nanti si anak harus membalas itu. Tapi kita bahagia karena punya anak, kita bahagia melihat anak kita makan enak, kita bahagia melihat anak kita punya sepatu baru. Kita bahagia karena punya anak, bukan justru anak yang bahagia karena kita. Nangkep kan ya?
Ini jadi melandasi pertanyaan berikutnya: sebagai orangtua, pamrih kah kita?
Masuk akalkah jika suatu hari nanti kita marah pada anak yang sudah dewasa "Durhaka kamu sama orangtua! Siapa yang ngasih makan kamu dari kecil?!"
Kok jadi pamrih gitu. Kalau nggak mau ngasih makan ya jangan. Kalau nggak mau urus ya titip panti asuhan. Ini kan kita kasih makan anak juga dengan bahagia, MPASI aja dihias-hias dan share di Instagram. Kita rela melakukan semua itu kan? Karena itu hal yang bikin kita bahagia kan?
Jadi mari bercermin sama-sama. Beri yang terbaik untuk anak dan jadilah yang bahagia pertama kali saat ia meraih mimpi-mimpinya. Ayo semua mulai investasi dana pensiun jadi ketika pensiun, kita tidak terlalu merepotkan anak. Apalagi kalau anak sudah berkeluarga.
Dan ya, meski demikian, bukan berarti jadi pembenaran untuk tidak sopan dan tidak berbuat baik pada orangtua loh ya. Berbuat baik lah. Kalau sudah kenal bertahun-tahun kita juga pasti suka berbuat baik kan pada orang lain dengan alasan "udah kenal lama banget". Apalagi sama orangtua? Udah kenal sejak lahir kan.
Kecuali kalau orang yang sudah kita kenal lama ini suka KDRT misalnya. Ya udahlah gimana lagi. Mungkin lebih baik kalau ditinggalkan aja. Hiks. Ini salah satu kasus "keterlaluan" kan. Kalau si ibu suka nyiksa sih menurut saya udahlah tinggalin aja. Nggak sehat, nggak berarti tetep harus dihormati karena udah udah ngelahirin kita. Dia aja nggak menghargai kita sebagai manusia, untuk apa kita menghargai dia?
Khusus buat para orangtua dengan balita: jangan juga terlalu manjain anak. Sekarang anak nggak dikasih jajan nangis kemudian dikasih, 15 tahun kemudian nggak dikasih motor bisa-bisa bunuh ibunya karena tidak terbiasa dengan rasa kecewa.
Udah gitu aja. See you!
-ast-
Oh well.
Yang saya lakukan pertama kali tentu mencari tahu ada apa. Ini kan kasus "unik" ya. Nggak tiap bulan ada anak nuntut orangtua, jadi pasti ada apa-apanya. Dan semakin banyak saya membaca, semakin saya tidak ingin judge siapa-siapa.
Apalagi sejak baca pernyataan si anak, wawancara khusus dengan Kumparan, kalau dia ingin memberi pelajaran pada keluarga yang selama ini selalu memanfaatkan sang ibu.
Khayalan saya begini. KHAYALAN LOH YA INI. *BOLD CAPSLOCK*
Si ibu adalah ibu zaman dulu. Pertama usianya memang sudah sepuh kan, kelahiran 1934 bayangin aja. Umur si ibu 83 tahun, sementara umur Yani (anak yang menuntut) 53 tahun. Beda usia 30 tahun.
Sementara Yani anak kesembilan dari 13 bersaudara. Berarti si ibu menikah muda, langsung punya anak banyak. Ya ibu saya aja nikah umur 25, nenek saya nikah umur 25, saya nikah umur 25. Ini 30 tahun anaknya udah 9 kan.
Mungkin, mungkin dalam perjalanannya si ibu tidak bisa selalu adil. Banyak kan anak sakit hati sama ibunya dan ibunya nggak pernah tahu itu. Mana mah nikah muda dengan banyak anak. Plus anak-anak juga merasa ibunya kaya raya (ini asumsi) jadi memanfaatkan ibunya untuk pinjaman ke bank segala macem. Si ibu dalam rangka "sayang anak" jadi nggak bisa nolak anaknya mau apa.
Cuma Yani ini yang bener usaha, jadi dia sebel sama sodara-sodara lainnya yang selama ini hidup enak doang memanfaatkan si ibu. Sampai Yani dan suami nutup utang kakaknya dulu lah, dikasih kerjaan dulu lah. Selalu ada sodara kita yang nyebelin kaya gitu kan?
Selalu ada anggota keluarga yang terbiasa hidup enak dari orangtua dan merasa selalu ada keluarga yang bantu, jadi hidup enak-enakan. Usaha ganti-ganti, kerja berat dikit ngeluh. Ngutang mulu ke anggota keluarga yang lain. Ngerepotin mulu tapi usaha nggak keliatan. Makanya Yani ini kesel, dia ingin kasih pelajaran sama kakak dan adiknya yang selama ini selalu ngerepotin.
*KHAYALAN SELESAI*
Tulisan setelah ini harap dibaca pelan-pelan. Pelan-pelan ya. Dan saya (seperti biasa) tidak bicara soal agama, saya bicara dari sisi manusia. :)
Satu yang jadi pikiran dan cukup mengganggu saya adalah, kita selalu melihat dari sudut pandang anak durhaka pada orangtua. Pernahkah kita berpikir sebagai orangtua, bahwa kita juga mungkin "durhaka" pada anak?
Apakah semua orangtua menjalankan perannya dengan sangat baik sehingga kita bisa langsung judge semua orang yang tidak baik pada orangtua sebagai anak durhaka? Anaknya keterlaluan, memangnya seorang ibu PASTI tidak keterlaluan pada anak?
"Ya kan orangtua udah ngurus kita dan biayain kita sejak bayi" TRUE. Itu benar. Dan ini tidak perlu dijawab dengan "apa anak pernah minta dilahirkan?" no, tidak sesederhana itu. Tapi ini bisa dirunut sejak awal sekali, sejak kita menikah.
Kita lihat dari sudut pandang kita sebagai orangtua.
Kita menikah, siapa yang bahagia saat strip dua muncul? Siapa yang sangat bahagia belanja peralatan bayi, survey rumah sakit, senam hamil? Sebagian besar orang pasti bahagia lah. Sebagiannya lagi yang kebobolan. Alih-alih bahagia biasanya mereka stres lol.
Siapa yang bahagia ketika anak pertama kali bisa berguling? Bisa jalan? Bisa ngomong "mama" pertama kali? KITA KAN. KITA BAHAGIA. Kita beliin mainan macem-macem dengan alasan biar anak bahagia, padahal kita beliin anak mainan karena kita bahagia liat anak main dengan tenang. Liat anak bahagia punya mainan baru.
Jadi logikanya tolong dibalik, bukan kita yang membuat anak bahagia kemudian suatu hari nanti si anak harus membalas itu. Tapi kita bahagia karena punya anak, kita bahagia melihat anak kita makan enak, kita bahagia melihat anak kita punya sepatu baru. Kita bahagia karena punya anak, bukan justru anak yang bahagia karena kita. Nangkep kan ya?
Ini jadi melandasi pertanyaan berikutnya: sebagai orangtua, pamrih kah kita?
Masuk akalkah jika suatu hari nanti kita marah pada anak yang sudah dewasa "Durhaka kamu sama orangtua! Siapa yang ngasih makan kamu dari kecil?!"
Kok jadi pamrih gitu. Kalau nggak mau ngasih makan ya jangan. Kalau nggak mau urus ya titip panti asuhan. Ini kan kita kasih makan anak juga dengan bahagia, MPASI aja dihias-hias dan share di Instagram. Kita rela melakukan semua itu kan? Karena itu hal yang bikin kita bahagia kan?
Jadi mari bercermin sama-sama. Beri yang terbaik untuk anak dan jadilah yang bahagia pertama kali saat ia meraih mimpi-mimpinya. Ayo semua mulai investasi dana pensiun jadi ketika pensiun, kita tidak terlalu merepotkan anak. Apalagi kalau anak sudah berkeluarga.
Dan ya, meski demikian, bukan berarti jadi pembenaran untuk tidak sopan dan tidak berbuat baik pada orangtua loh ya. Berbuat baik lah. Kalau sudah kenal bertahun-tahun kita juga pasti suka berbuat baik kan pada orang lain dengan alasan "udah kenal lama banget". Apalagi sama orangtua? Udah kenal sejak lahir kan.
Kecuali kalau orang yang sudah kita kenal lama ini suka KDRT misalnya. Ya udahlah gimana lagi. Mungkin lebih baik kalau ditinggalkan aja. Hiks. Ini salah satu kasus "keterlaluan" kan. Kalau si ibu suka nyiksa sih menurut saya udahlah tinggalin aja. Nggak sehat, nggak berarti tetep harus dihormati karena udah udah ngelahirin kita. Dia aja nggak menghargai kita sebagai manusia, untuk apa kita menghargai dia?
Khusus buat para orangtua dengan balita: jangan juga terlalu manjain anak. Sekarang anak nggak dikasih jajan nangis kemudian dikasih, 15 tahun kemudian nggak dikasih motor bisa-bisa bunuh ibunya karena tidak terbiasa dengan rasa kecewa.
Udah gitu aja. See you!
-ast-