Di ujung jalan itu, jalan kecil dan pendek yang menyambungkan Jalan Palmerah Barat dan jalan satunya. Entah jalan apa namanya, jalan di samping rel kereta menuju Pejompongan. Jalan itu hanya sepanjang sekitar 100 meter, memberi nafas pada dua kemacetan. Kemacetan menuju Slipi dan kemacetan menuju Semanggi.
Kadang kedua jalan itu macet, kadang hanya salah satunya. Jalan kecil itu memberi pilihan, akankah nekat menembus macet menuju Slipi? Atau belok ke jalan kecil itu berharap jalan menuju Pejompongan lancar jaya dan tidak terhambat kereta?
Jalan itu saya lewati setiap hari. Di kedua ujungnya ada penjaga, di ujung Palmerah dikuasai satu geng (yang penampilannya seperti) "preman". Berempat atau berlima mereka "mengatur" lalu lintas orang yang keluar masuk jalan. Berharap koin-koin dari mobil yang merasa terbantu, yang merasa berutang budi karena belok di tengah macet itu memang sulit sekali.
Satu geng itu team work-nya patut diberi bonus tahunan, kalau saja mereka bekerja kantoran. Mereka memang membantu. Memberi rupiah pun rasanya tidak sia-sia. Sesekali mereka bergantian menjaga dan beristirahat dengan nongkrong di kios kecil di pinggir jalan. Mereka berkoordinasi agar semua mobil dan motor yang akan masuk gang bisa melaju tanpa membuat kemacetan baru. Saku celana mereka selalu terlihat penuh dan berat, berisi koin-koin ucapan terima kasih.
Sebaliknya dengan penjaga ujung jalan satunya.
Ia tak punya geng, ia bahkan sepertinya tidak punya teman. Seorang laki-laki yang wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Kurus kering, kulitnya hitam legam, bahunya agak bungkuk. Terlihat helai-helai rambut putih di sela-sela rambut hitamnya yang ikal berminyak. Tak seperti rekan satu profesi di sudut satunya, ia membawa peluit. Saku celana katunnya tidak pernah tampak penuh. Ada alasannya.
Peluit modalnya itu selalu ia tiup asal-asalan. Tidak jelas meniup pada siapa dan fungsinya untuk apa. Ia terus meniup dengan tangan membentuk dua kode: melaju atau berhenti. Ia sia-sia, ia sama sekali tidak membantu, malah kadang menghalangi. Seringnya ia lah yang membuat kemacetan baru karena ia terlalu bingung untuk memutuskan, siapa yang harus lebih dulu melaju. Atau ia berdiri terlalu di tengah jalan yang sudah sempit itu. Duh.
Suatu hari ia "bekerja" dengan kain jarik melingkari badannya. Membawa anak berusia 4 tahunan. Anak ini tidak tertidur seperti anak-anak pengemis yang katanya diberi obat tidur. Anak ini bangun, melirik ke kanan kiri melihat keramaian jalan.
Hari lainnya ada seorang perempuan yang menggendong anak laki-laki itu, dengan kain jarik yang sama. Duduk di teras sebuah bangunan ujung jalan itu yang ternyata posyandu. Ratusan kali melewati jalan itu saya akhirnya menduga satu hal: mereka satu keluarga dan mereka tidak punya tempat tinggal. Mereka sepertinya tinggal di bangunan posyandu itu.
Dan jelaslah sang kepala keluarga tidak punya pekerjaan yang jelas. Ya, menjadi Pak Ogah tentu bukanlah pekerjaan. Bahkan karakter Pak Ogah yang sebenarnya pun diceritakan sebagai pemalas dan tak punya pekerjaan kan?
Kemudian saya berusaha berpikir positif. Mungkin ia tidak bekerja karena ini, karena itu. Tapi gagal. Selalu yang muncul adalah pemikiran sebaliknya.
"Masih muda kok pemalas."
"Pasti malas cari kerja."
atau
"Pasti kalau pun diberi pekerjaan, ia tak mau."
Dan pasti-pasti lainnya yang seluruhnya murni dugaan negatif belaka. Padahal satu hal yang pasti, ia adalah sebagian sangat kecil dari orang-orang yang bertahan hidup di Jakarta.
Seperti tukang tambal ban di sudut Palmerah yang lain. Kiosnya sangat kecil. Satu kali saat pergi agak siang, saya melihat ia mencuci muka dengan baskom besar di pinggir jalan. Di sisi selokan. Saya bertanya-tanya, tak punya rumah kah?
Kali lainnya pertanyaan itu terjawab karena setiap kami pergi agak pagi atau pulang larut malam, ia sudah tidur. Tidur di halte bis persis di sebelah kios tambal bannya.
Ada pula kios lainnya. Di dekat tempat makan Lapo paling terkenal se-Jakarta. Sebuah kios sempit ditempati satu keluarga dengan anak balita. Anaknya makan apa? Makan nasi atau makan bubur? Tahukah dia kalau ibu-ibu lain di kota yang sama bisa bertengkar hanya karena gula dan garam?
Kemudian ada satu ibu. Pakaiannya dinasnya adalah kebaya batik kutubaru lusuh dengan kain bawahan yang tak kalah lusuhnya. Ia hanya muncul di malam hari, bersama anaknya yang berusia sekitar 10 tahunan. Keduanya tidur di trotoar gelap, di jalan sempit kemandoran.
Saya menduga ia memang bersembunyi dan tak mau terlalu terlihat orang banyak. Mengapa tak tidur di emperan toko seperti para tunawisma lainnya? Tak bisakah ia menemukan posyandu untuk ditempati? Tak bisakah ia membuka kios agar minimal ada tempat bernaung saat hujan?
Yang jelas hanya satu hal, mereka punya kesamaan, sebagai orang-orang yang bertahan hidup di Jakarta.
Seperti juga para kuli bangunan yang bekerja sangat cepat membangun gedung-gedung bertingkat. Berkutat dengan pasir dan semen dan diingatkan artinya hidup dengan spanduk keamanan kerja terbentang di rangka gedung yang sudah setengah jadi. Spanduk putih yang berbunyi "Ingat keluarga menunggu di rumah". Kepala tertutup helm proyek, rompi orange menyala, dan sepatu bot yang penuh kotoran. Tidur di halaman proyek, di bangunan seng yang mereka dirikan sendiri.
Juga seperti kaum pekerja yang berdesakkan di commuter line dan TransJakarta. Seperti para motoris yang berbalut jaket tebal, menembus panas dan jalan luas yang tetap saja pengap. Seperti kaum yang lebih mampu yang mengeluhkan macet pada supir mobil pribadinya, pada supir mobil pribadi anaknya yang bahkan baru masuk TK. Seperti kaum yang lebih lebih mampu yang rela merogoh kocek untuk bepergian dengan helikopter di Jakarta. Mendarat dari satu helipad mall ke helipad lainnya.
Mereka yang berlimpahan harta dan mereka yang hanya bermodal peluk keluarga. Semua berlari berdampingan di kota ini, demi mengisi perut yang lapar dan cita-cita yang bahkan tak semuanya nyata. Cita-cita yang jadi seperti semu, dibaurkan lelah penat keringat. Uang-uang yang menguap entah jadi apa.
Jadi asap dan abu rokok tukang bajaj. Jadi makan di restoran setiap minggu. Jadi berkoper-koper belanja saat pesta diskon di mall, meski itu bisa menghabiskan hampir seluruh penghasilan. Dihabiskan sia-sia dan menguapkan cita-cita karena itu yang membuat lelah penat sedikit terusap. Jadi modal tenaga baru untuk berlari kembali memacu diri.
Demi bertahan hidup di Jakarta.
We are survivor. We keep on surviving.
-ast-
Mereka yang berlimpahan harta dan mereka yang hanya bermodal peluk keluarga. Semua berlari berdampingan di kota ini, demi mengisi perut yang lapar dan cita-cita yang bahkan tak semuanya nyata. Cita-cita yang jadi seperti semu, dibaurkan lelah penat keringat. Uang-uang yang menguap entah jadi apa.
Jadi asap dan abu rokok tukang bajaj. Jadi makan di restoran setiap minggu. Jadi berkoper-koper belanja saat pesta diskon di mall, meski itu bisa menghabiskan hampir seluruh penghasilan. Dihabiskan sia-sia dan menguapkan cita-cita karena itu yang membuat lelah penat sedikit terusap. Jadi modal tenaga baru untuk berlari kembali memacu diri.
Demi bertahan hidup di Jakarta.
"After of all of the darkness and sadness. Soon comes happiness," -- Destiny's Child
We are survivor. We keep on surviving.
-ast-
What a sincere post, Cha. Such a reminder #menatapnanarplastikH&M
ReplyDeleteBaca beginian dini hari. Nangis dong. Pengen aku puisiin sambil digitarin
ReplyDeleteBenar ketika ada yang bilang, Jakarta kota yang keras
ReplyDeletemelihat orang2 yg bertahan hidup dgn kerjaan ga menentu ini nih, yg sering bikin aku ga tega ... tapi biar gimana, semua dr kita memang harus survive kan hidup di mana aja, terlebih ibukota :)..
ReplyDeletebaca ginian sore-sore bawaanya pengen pulang pake karpet terbang ke rumah. Indeed, jakarta itu keras bung.
ReplyDeleteThis is very educational content and written well for a change. It's nice to see that some people still understand how to write a quality post.!
ReplyDelete