Pertanyaan terbesar saat tahu hamil: Bebe akan dibesarkan dengan cara apa? Apakah dengan cubitan dan sentilan? Apakah dengan alasan kunci "because mom said so"? Apakah dengan berjuta larangan?
Sejak hamil, saya dan JG sudah membuat rencana akan "membentuk" Bebe menjadi pribadi yang seperti apa. Harus begini harus begitu, harus bisa ini harus bisa itu.
Baca punya Isti di sini:
Saat itu saya belum sadar sama sekali kalau anak adalah individu sendiri yang terpisah dari orangtuanya. Ternyata di usia belum 2 tahun, anak sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Tinggal kita sebagai orangtua, akan diapakan pilihan anak itu?
Ini beberapa poin penting yang sejak Bebe bayi, sampai sekarang kami pegang teguh dalam berkomunikasi dengan Bebe:
1. Menangis itu tidak apa-apa
Bebe bukan anak yang saat menangis langsung dilakukan segala cara agar nangisnya berhenti. Menangis adalah reaksi natural dari rasa sedih atau kecewa, maka menangis itu tidak apa-apa.
Jadi misal Bebe ingin makan es krim padahal sudah habis satu cup, saya larang dan dia nangis. Biarkan saja nangis. Jelaskan "Bebe kecewa kan karena tidak diberi es krim, jadi boleh nangis aja, ibu tunggu."
Kadang nangisnya heboh sambil pukul-pukul muka saya, ya saya yang tadinya tidak emosi jadi emosi dong. Tapi pas konsultasi sama psikolog, kata psikolog itu bagian dari emosi yang belum cukup dikeluarkan lewat tangisan. Dia belum tahu memukul itu tidak baik jadi ya dilakukan. Biasanya saya langsung bilang tegas: "Kenapa pukul?! Tidak pukul-pukul ya!"
Tapi semakin ke sini semakin jarang terjadi, Bebe semakin jarang menangis, semakin jarang tantrum. Kalaupun tantrum, dia tidak menangis dan tidak pernah lama. Cuma manyun aja, kadang guling-guling di lantai. lol
Kenapa? Karena emosinya terluapkan, setelah menangis dia lebih tenang. Bahkan langsung minta dipeluk, artinya dia sudah "memaafkan" saya.
Harapannya, setelah dewasa ia tidak jadi orang yang selalu memendam emosi. Ia bisa mengungkapkan perasaan pada orang terdekatnya.
2. Takut dan tidak bisa
Takut itu sesuatu yang natural dan adalah sesuatu yang wajar manusia bisa takut. Bebe harus mengerti ini. Jadi dia tidak boleh menakut-nakuti orang dan sebaliknya, kami juga tidak pernah menakut-nakutinya.
Meski tidak pernah ditakut-takuti, rasa takut itu ternyata secara natural juga didevelop di otak anak. Ngeliat ondel-ondel (yang suka ngamen di jalan ituloh) naturally dia bilang "Xylo takut!", ngeliat semut dia kabur, akhirnya semua dialihkan dengan kata "baik"
"Tidak perlu takut ondel-ondel, ondel-ondel baik!" -- berkali-kali ngomong begini sampai suatu hari turun dari mobil dan salaman dengan ondel-ondel.
"Semut tidak apa-apa, semut baik!" -- ngomong gini sambil menunjukkan semut bisa merayap di jari kita. Sampai sekarang kalau lihat semut Bebe selalu bilang: "Ibu! Semut baik! Semut baik!"
(Baca: 10 Kebohongan yang Sering Saya Ucapkan pada Anak Saya)
Begitu pula dengan kata-kata yang sering Bebe bilang: "Nggak bisa! Susah!" Kalau sebenernya dia bisa dan kurang usaha, kami pasti bilang: "Bisaaa, pasti bisa kok! Ayo coba lagi!"
Meskipun butuh waktu lama untuk menyelesaikannya, harapannya dia mengerti kalau dia diberi kepercayaan untuk mengerjakan sesuatu sendiri dan jangan mudah menyerah. Juga untuk menanamkan sikap positif.
3. Mengambil keputusan
Dari sejak Bebe kecil, dia selalu diberi pilihan. Mau baca buku yang mana? Mau main apa? Mau susu rasa apa? Mau mandi dulu atau minum susu dulu? Mau beli donat yang rasa apa?
Dan kalau udah dikasih pilihan, ya diturutin dong pilihannya. Ini penting banget karena banyak orang dewasa yang struggling banget dalam pengambilan keputusan, seperti JG.
JG dari kecil hidupnya lurus, nurut orangtua, dan sialnya, tidak pernah diberi pilihan. Sekolah di mana, jurusan saat SMA, kuliah di mana. Bahkan sesimpel ingin beli tas yang mana, semua dipilihkan orangtua. Sampai sekarang sulit sekali mengambil keputusan. It's worth a separate blog post so let's talk about this later ya!
Intinya saya ingin Bebe bisa mengambil keputusan, bisa tau apa yang dia mau dan mengungkapkannya, terbiasa mengeluarkan pendapat. Ini penting untuk survive di masa depan.
4. Sayang keluarga
Bebe di masa depan harus seperti JG yang tiap hari nelepon ibunya. *posesif* T________T
Dan saya percaya sayang itu harus diucapkan dan dilakukan jadi setiap turun dari mobil, saya dan JG cium-cium pipi Bebe. Saya juga sering bilang "ibu sayang Bebe, Bebe sayang ibu?" Dia belum ngerti tapi saya yakin nggak lama lagi dia akan ngerti.
Kami juga mengajari untuk peluk. Kalau sudah berbuat salah harus minta maaf dan peluk. Di saat-saat random pun suka meluk, akhirnya Bebe pun melakukan hal yang sama. Tiba-tiba meluk atau "sayang" ibu (ngelus-ngelus). *leleh*
Kami juga mengajari harus sayang teman-teman, terutama yang lebih kecil. Jadinya kalau liat bayi, Bebe otomatis ngelus-ngelus atau cium pipinya. Anakku lovable banget. <3
5. To accept differences. To appreciate others' choices.
Belajar dari orang-orang kampret yang nggak terima perbedaan, Bebe HARUS bisa menerima perbedaan, harus bisa menghargai pilihan orang lain.
Ini masih peer karena belum terpapar langsung sih dengan kondisi kaya gini. So far cuma dari nonton Babies aja.
(Update 2018, sekarang sih udah ngerti dia: Mengajarkan Perbedaan pada Anak)
6. Menghargai perempuan
Setelah kasus kemarin itu, saya lagi proses mengajari Bebe konsep perempuan dan laki-laki. Susah! Belum ngerti banget, tapi minimal dia sudah dikenalkan lah bahwa ada laki-laki, ada perempuan. Dia dan JG laki-laki, ibu perempuan.
Ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan pada ibu karena ibu perempuan, seperti duduk di perut ibu, atau gelut-gelutan. Bebe duduk di perut saya, ya berat tapi ga seberat itu juga kan. Tapi maunya, dia tahu ada hal-hal "kasar" yang tidak bisa dia lakukan pada perempuan.
Dan dia seharusnya mengerti karena anaknya memang pada dasarnya sweet banget. Di mall, dia ingin digendong, kemudian saya gendong. Nggak berapa lama ...
Bebe: "Gendong appa ajah, (kasian) ibu berat"
Runtuh ga sih? *cium-cium Bebe*
Saya juga ingin dia jadi laki-laki yang menghargai perempuan sebagai individu yang setara dengan laki-laki. He's gonna be a real feminist just like his father.
*
Looks fun and easy? It's not. Having kids is NEVER easy. It takes a lot of hard work, it's super exhausting, emotionally and physically. But seeing him now, we know it's totally worth it. :)
-ast-
Sukaaa deh mahmud inih :)))
ReplyDeletePantes bebenya lovable bgt, aku fans bebe di IG loh cha... ����
MBAAAA. kok nggak pernah like hahahahaha
Deleteicha msh uda tp dewasa bgt yaaaah.
ReplyDeleteaku well planned banget mbak, kalau nggak nanti stres hahaha
DeleteBebe anak sholeh anak baik ^^ mengeluarkan pendapat, ini diaa yg suka kelewat. Setiap action si kecil, bener ya cha, hrs ditanya kenapa, kenapa...
ReplyDeleteAahh suka postnya!
ReplyDeleteDan sekarang yang saya dan suami yang lagi bingung adalah gimana ngajarin anak untuk membela diri. Kasusnya, Arka nggak pernah pelit kalau mainannya dipinjem. Bahkan mainan yang paling dia suka pun akhirnya dia relain karena temennya maksa. Biasanya kita memang mengajarkan Arka untuk selalu pinjemin barang sama orang. Tapi setelah liat dia kecewaaa sekali karena mainan favoritnya direbut, saya jadi belajar berarti menolak permintaan orang lain pun perlu. Nah ini yang masih bingung ngajarinnya :/
Ada saran kah?
Oh, halo! Salam kenal! :D
Hai! aku akan make sure tanya psikolog bulan ini ya tentang membela diri. :D
Deletemama bebe ,, tanya dong :D
ReplyDeleteAnakku masih usia hampir 3 tahun, kakak udah sekolah. terus pulang dari sekolah suka nyembur, seperti orang buang ludah gitu,, T_T ini mungkin ada yang dicontoh ya T_T nah,, kadang juga si kakak suka manyunin dan melet2 gitu ke anak2 lain yang ada didekatnya kalu pas diajak jalan T_T ,, nah solusinya gimana mama xylo *_*