Untuk saya dan kalian, para ibu yang memilih bekerja semata-mata karena bekerja itu menyenangkan dan bagian dari kehidupan.
Karena kita adalah ibu-ibu yang membuat iri karena bisa selalu tampil cantik di kantor. Berganti lipstik sesuai warna baju. Ngemil-ngemil dan haha hihi dengan teman kerja. Makan siang di mall sehabis gajian. Berdandan bukan hanya dasteran.
Daster yang sungguh membuat rindu untuk cepat pulang ke rumah. Mengganti baju kerja yang kaku dan tiduran dengan daster kesayangan. Dengan segudang rencana, setelah anak tidur maka saya akan blablabla. Kenyataannya setelah anak tidur ... maka saya tidur juga karena sudahlah, terlalu lelah.
Kita adalah ibu-ibu yang selalu dihakimi karena tidak menjadi perempuan ideal. Yang sejatinya ada di dalam rumah, di balik dapur, mengurus rumah tangga. Menemani anak sepanjang waktu. Dinilai akan menyesali diri ketika anak sudah dewasa, meski entah yang dipakai itu penilaian siapa.
Ketika cuti melahirkan usai dan tiba hari pertama masuk bekerja. Air mata mengalir dari pagi hingga sore memikirkan bayi 2-3 bulan ditinggal ibunya sendiri. Apa asinya cukup? Apa mau minum ASIP pakai sendok? Apa mau pakai dot? Apa menangis terus? Rasa bersalah menghantui. Beberapa tak sanggup bekerja hingga selesai dan hanya masuk setengah hari. Lari ke rumah hanya untuk menyusui.
Hari-hari berikutnya diisi dengan membuat jadwal pumping di kantor. Yang kadang berbenturan dengan jadwal meeting. Tak sedikit yang meeting sambil pumping. Yang penting ada botol-botol susu terisi penuh untuk dijejalkan pada kulkas. Kulkas dan freezer yang menentukan mood. Jika penuh membahagiakan, jika kosong hancur hati berantakan.
(Baca juga: Hal-hal yang Hanya Bisa Dimengerti oleh Ibu Menyusui)
Ketika punya satu anak pun struggle dan juggle mengurus anak, rumah, dan pekerjaan. Rasanya ingin mengajukan resign saat itu juga memikirkan ingin bersama anak sepanjang waktu. Tapi kemudian terpikir apa yang akan dilakukan di rumah sepanjang waktu? Apakah bisa? Apakah sanggup tak punya uang sendiri? Apakah sanggup tak bergaji? Apa sanggup mengerjakan pekerjaan rumah seharian? Apa sanggup hanya dengan anak seharian?
Di siang yang sibuk, anak di rumah tak terpikir sama sekali. Tak terasa waktu terlewat hingga jam pulang kerja. Di siang yang senggang, bolak-balik cek gallery foto di hp. Mengulang video-video. Kangen tak terhingga. Kemudian meneror orang rumah/daycare untuk mengirim foto. Kemudian membombardir whatsapp suami dan grup keluarga dengan foto-foto itu.
Tak akan ada yang lebih menegangkan dibanding detik-detik menuju jam pulang kerja. Apakah harus lembur? Karena sungguh ingin buru-buru pulang!
Sungguh pula uang lembur adalah sesuatu yang pantas ditangisi. Karena, pak dan bu bos, yang dibutuhkan bukanlah uang pengganti jam kerja tambahan. Berapa besar pun itu. Tapi pulang tepat pada waktunya agar bisa cepat bertemu anak di rumah.
Tapi ada pula kalanya ketika pekerjaan yang menyita waktu itu terlalu menyenangkan. Melirik jam, sudah waktunya pulang. Sejujurnya ingin terus bekerja saja, tapi memangnya ada ibu yang memilih untuk bekerja larut dan bukannya main bersama anak?
Ada. Saya, meski kadang-kadang.
Maka saya akan jemput dan bawa anak serta suami untuk kembali ke kantor. Melanjutkan pekerjaan yang biasanya sudah tak terlalu banyak karena larut malam. Membiarkan anak bermain di antara kubikel, membawakannya bola. Menyuruhnya bermain dengan teman-teman kerja yang juga belum kunjung pulang ke rumah. Judge me, I really don't care.
(Baca: Alasan Saya Tak Sanggup Jadi Stay at Home Mom)
Dan ketika di waktu-waktu pulang kerja normal lainnya, wajah mungil itu akhirnya ada di depan mata. Tersenyum menjulurkan tangannya. Minta pelukan. Maka sisa hari itu akan ia habiskan untuk mendapat peluk cium brutal tak terhingga. Sampai menangis pun tidak apa. Haha!
Ketika menambah anak kekhawatirannya adalah energi, bukan rezeki. Sungguh saya percaya rezeki untuk anak pastilah ada. Tapi lelah rasanya memikirkan harus membagi waktu lebih baik lagi jika menambah anak. Memikirkan kekhawatiran yang akan menjadi dua atau tiga kali lipat.
Kekhawatiran yang makin menjadi ketika anak sakit. Harus tak enak hati sepanjang hari. Habis cuti. Maka doa yang terpanjat adalah selalu agar anak sehat. Karena anak dengan ibu bekerja tak boleh sakit. Tak pernah boleh.
Jika anak sakit dan tak tidur semalaman, esok adalah hari menahan kantuk sedunia. Ingin rasanya goleran di kolong meja. Belum lagi jika sakitnya tiga hari. Hari keempat, ketok kayu amit-amit tapi biasanya kita pun ikut sakit.
Juga untuk weekend yang selalu terlalu sebentar (KAPAN GUE TIDUR KAPAANNN?) dan Senin yang dinobatkan jadi hari paling kangen anak sedunia.
Kita kuat! Kita bisa!
Karena bekerja adalah bagian hidup kita. Seperti halnya keluarga. Karena saya senang bekerja. Karena kantor adalah sebenar-benarnya me time.
*berpelukan* *susah amat nulis serius yah* *ah sudahlah* *brb kerja*
-ast-