"Banyak yang menyimpulkan bahwa Jakarta bukanlah kota dalam arti yang sebenarnya. Ia hanyalah sebuah aglomerasi dari perkampungan-perkampungan yang membesar. Jakarta adalah kampung raksasa. Carut marut fisik dan sistem kota Jakarta sedikit banyak dipengaruhi oleh masyarakat yang secara psikologis ternyata tetap berperilaku pikir bawaan dari desa. Dengan pemahaman tentang konsekuensi hidup berkota yang terbatas mereka harus menyelami keseharian konteks sosial urban dengan intensitas yang ekstrim.
Akibatnya sangat fatal. Benturan-benturan budaya pun tidak terelakkan. Tidak adanya respek terhadap ruang publik dan menegasikan hak-hak warga kota lainnya sering terjadi. Jalur pedestrian seringkali diambilalih oleh pedagang kakilima, diintervensi oleh sepeda motor, atau diokupasi sebagai pangkalan ojek. Perkampungan-perkampungan kota pun seringkali memiliki tata hukum dan nilai sosial sendiri. Hidup membangun rumah di tanah-tanah tidak bersertifikat menjadi hal yang lazim."
Itu adalah petikan tulisan Walikota Bandung Ridwan Kamil, September 2008 di blog pribadinya yang banyak membahas tentang tata ruang perkotaan. Sepenuh hati saya mengamininya.
Hampir 5 tahun tinggal di Jakarta, saya melihat sendiri bahwa warga Jakarta asli itu memang sedikit jumlahnya. Entah berapa persen merupakan pendatang termasuk saya sendiri. Para pendatang ini yang mengadu nasib dan sebagian menghalalkan segala cara. Cara-cara yang membuat Jakarta semakin semrawut.
Maka ketika sebagian warga Jakarta menginginkan Ridwan Kamil jadi gubernur di ibukota, saya termasuk yang menyangsikan. Apa Kang Emil bisa? Bukan apa-apa, Jakarta berbeda sekali dengan Bandung.
Bandung warganya ramah, dengan orang-orang yang memang punya rasa memiliki pada tanah tempat tinggal mereka. Maka ketika semangat kolaborasi dikobarkan, semua ingin ikut berpartisipasi. Semua ingin ambil bagian untuk Bandung yang lebih baik. Tapi Jakarta?
Isinya adalah orang-orang yang bertahan hidup. Mempertahankan perut agar bisa tetap terisi, sungguh tidak ada waktu untuk merasa memiliki. Setiap pagi berjibaku dengan kemacetan, berdesakkan di TransJakarta atau commuter line, berjalan kaki di tengah asap kendaraan, menyeberang jalan di atas jembatan penyeberangan penuh pedagang atau bahkan tak peduli menyeberang tanpa zebra cross atau jembatan. Itu Jakarta. Tidak ada waktu untuk berkolaborasi, semua orang sibuk sendiri.
Butuh seorang Ahok untuk menjadikannya setengah rapi seperti ini. Masih setengah karena setengah lagi masih berantakan. Butuh Ahok untuk menjadikan Palmerah bersih dari kaki lima penjual janur kuning. Butuh seorang Ahok untuk menjadikan Kopaja mogok massal dan (hampir) berhenti beroperasi. Pelan-pelan pak, kami percaya Bapak bisa. :)
Nah, tapi apa gunanya pemimpin yang tegas kalau warganya tetap keras kepala. Ayolah sedikit demi sedikit berubah untuk Jakarta. Sesederhana jangan menerobos lampu merah, jangan naik ke trotoar, jangan membuang sampah sembarangan, menyeberang di tempatnya, parkir di tempatnya. Yang suka ke Taman Surapati, parkir di mana?
Parkir di sekeliling Taman Surapati itu ilegal, rambu P coret di sekelilingnya. Kami parkir jauh, di Mesjid Sunda Kelapa karena itulah satu-satunya tempat parkir legal terdekat dari Taman Surapati. Tapi lihat di sekeliling taman, kadang satpol PP malah bersebelahan dengan para tukang parkir ilegal itu. Jakartaaaaa.
*
Tapi lima tahun tinggal di Jakarta baru sekarang saya optimis kalau Jakarta bisa berubah. Karena baru sekarang perubahannya drastis terlihat. Bahkan saat gubernurnya Jokowi, perubahan belum terlalu terasa seperti ini. Salah satunya karena Qlue. Seberapa banyak dari kalian yang sudah memanfaatkan Qlue?
Daripada ngomel di social media mengeluhkan Jakarta, ngomelnya sebaiknya dipindahkan saja ke Qlue. Saya pun awalnya pesimis, tapi setelah beberapa kali ditanggapi, saya jadi lebih tenang kalau melihat pelanggaran karena tak perlu ngomel di tempat. Laporkan saja via Qlue!
Saya pernah mengeluhkan parkiran Taman Menteng yang selalu main tembak harga dan menolak memberikan karcis print padahal komputer dan printernya berfungsi. Tidak sampai 3 hari, lurah Menteng sudah menanggapi dan beliau memberikan foto bukti sedang menegur juru parkir. Kini laporan saya yang statusnya masih kuning (sedang diproses) itu adalah saran memberi larangan merokok di kebun binatang Ragunan (lurahnya bilang segera akan dipasang), dan satu lagi parkir liar di depan SD Benhil yang selalu membuat macet (lurahnya bilang sedang diproses).
Kalau berulang, ulang lagi laporannya! Saya malah pernah melihat orang melaporkan diberi nomor saking lurahnya sudah mengkonfirmasi masalah selesai tapi kemudian berulang. Jadi dia tulis [LAPORAN 5] gitu. Begitu laporan 5 dikonfirmasi selesai tapi berulang lagi, dia laporkan lagi dengan [LAPORAN 6] dan seterusnya. Ini adalah cara kita membantu pemerintah.
Ini adalah cara Jakarta berkolaborasi. Memang mungkin tidak bisa dengan kerja bakti atau naik sepeda ke kantor bersama, tapi bisa dengan melaporkan ketidakadilan di wilayah masing-masing. Laporkan langsung pada pemerintah.
Semua laporan di Qlue menjadi bahan laporan di rapat bulanan gubernur bersama para lurah. Nggak heran kan kenapa sekarang banyak lurah diganti dengan yang lebih muda? Seperti lurah Tanjung Barat yang masih berusia 27 tahun, perempuan lagi. Karena lurah sendiri harus berperan aktif di Qlue dan satu per satu menyisir keluhan warga kemudian menyelesaikannya.
*
Masih mau mengeluhkan Jakarta yang sulit berubah? Ayo ubahlah dulu diri kita sendiri! Karena saya pribadi, masih betah di Jakarta. Kota yang mengajarkan arti bertahan hidup yang sebenarnya. :)
-ast-