Beberapa hari yang lalu, JG memperlihatkan sebuah posting Linimasa berjudul "Lumpuh". Kami berdua pembaca setia Linimasa, tapi kali ini saya tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang Glenn Mars tulis.
*Terus kenapa kalau nggak setuju? Ya saya bikin tulisan alasannya dong. Emang presiden doang yang boleh dikasih surat terbuka. LOL.*
"Lumpuh" bercerita tentang konsumtivisme. Betapa apa-apa bisa dibayar dengan uang. Menghasilkan generasi yang menjahit kancing sendiri tidak bisa. Menyalakan kompor tidak bisa. Sehingga hidupnya lama-lama jadi membosankan. Jadi putus asa. Lumpuh.
Melihat tiga komentar di bawahnya, ketiganya setuju kalau mereka yah, lumpuh. Ada satu yang sampai mau menangis.
Saya sendiri sebagai kelas-menengah-ngehe-kaum-urban-Jakarta-yang-selalu-bikin-macet-tapi-tetep-pakai-mobil pernah ada di titik itu. Semua bisa dibeli loh kok ngapain saya repot bikin sendiri?
Sampai sekitar dua tahun terakhir.
Saya mulai mengurangi duduk berlama-lama di depan laptop
Dan itu bukan hanya saya yang melakukannya. Banyak ibu-ibu muda yang mengambil kursus menjahit karena ingin menjahit sendiri baju untuk anak perempuannya. Mbak yang sebelumnya selalu eksis di tiap pesta kini berkutat dengan mixer untuk membuat kue. Banyak sekali contohnya, dan saya melihat kecenderungannya memang ke arah sana.
Kembali ke hal-hal yang dilakukan sendiri. Tidak sedikit ibu bekerja yang memaksakan diri memasak untuk balitanya karena tidak mau si balita makan masakan pembantu di rumah. ASI dikampanyekan padahal beli susu formula lebih mudah, apalagi untuk ibu bekerja.
Anak-anak zaman sekarang yang sering di-judge sebagai anak-anak pemalas yang hanya kenal gadget juga tidak banyak yang saya ketahui. Sebagian besar orangtua di sekitar saya juga udah sadar kalau anak-anak butuh kenal alam. Para orangtua itu membuat sendiri mainan untuk anak di rumah. Membawa anak mereka ke taman. Mengenalkan mereka pada binatang.
Itu semua pengingat kalau kita belum lumpuh. Banyak yang sudah sadar dan bangkit. Hidup kembali.
Dan satu hal lagi, bahwa menurut saya, konsumtivisme dan kelumpuhan itu tidak ada hubungannya. Segala kenikmatan Do It Yourself itu juga butuh biaya yang tidak sedikit. Apalagi kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tren.
Mesin jahit beli jutaan cuma kepake dua bulan. Alat masak serba digital cuma jadi hiasan dapur. Mengirit uang jajan dan memasak sebenarnya agar uangnya bisa digunakan untuk melahirkan di kelas VVIP. Beli satu paket peralatan menggambar dan cat air yang juga tidak murah untuk belajar lettering. Beli beberapa macam pompa ASI agar bayi tidak diberi susu formula.
Bahkan olahraga termurah yaitu lari aja masih harus beli sepatu lari. Masih harus beli baju yang bisa cepat menyerap keringat dan cepat kering. Beli iPhone agar bisa kece dipasang di lengan.
Dan ya, mereka tidak lumpuh. Punya kegiatan seabrek selain bekerja untuk menghasilkan uang. Dan tetap konsumtif. *ngikik*
Udah ah serius amat.
-ast-
Setuju banget :)
ReplyDeleteHmmm...Aku bacanya sambil manggut-manggut...Bener juga ya yg ditulis mba annisa :D
ReplyDeleteSetuju mbak... suka sama gaya nulisnya mbak annisa deh :)
ReplyDeletehmmm.... bener juga ^___^ *manggut2 sok ngerti*
ReplyDeleteMenyalakan kompor tidak bisa >> ini mertua saya sampe sekarang nggak bisa nyalain kompor
ReplyDelete#menantufrustasi tiap datang disuruh nyalain kompor mulu
eniwei, salam kenal Annisa, love your articles ^,^
hahahaha neneknya suamiku juga ga bisa nyalain kompor gas soalnya takut. :D
DeleteIya setuju deh mbak, sudah banyak yang berusaha untuk tidak tergantung dengan gadget dan mulai melakukan hal-hal DIY yang cenderung agak repot :)
ReplyDelete