Saya orangnya emang nggak boleh kebanyakan bengong. Nanti jadi kebanyakan mikir. Kebanyakan khawatir. Kebanyakan pertanyaan. Heboh deh, harus minta jawaban sama siapa?
Saya selalu senang mengobrol dengan orang baru, apalagi orang asing. Supir taksi, supir Go-Jek, abang tukang jualan, orang di antrian depan, orang di antrian belakang. Siapapun. Selalu ada hal baru, selalu ada hal-hal yang tidak terduga. Nasib orang memang beda-beda.
Orang pertama sejak lahir tidak pernah susah. Laki-laki 50 tahun ini sejak bayi sudah jadi sosialita. Hidup mewah, kuliah di Amerika, pulang ke Indonesia diwarisi puluhan restoran. Jadi CEO di sana-sini tanpa pernah tahu rasanya jadi karyawan biasa dengan gaji 3juta. Uang sebanyak itu hanya seharga setengah atau bahkan seperempat pasang sepatunya. Sepatu yang ia koleksi sebanyak satu ruangan 3x3 meter persegi. Semua hanya bermodal nama belakang saja. Sungguh modal yang sulit dimiliki. Pantas artis cantik itu mengubah namanya menjadi ikut nama belakang suami. Padahal nama belakang suaminya berlumur lumpur.
Orang kedua nama belakangnya bukan siapa-siapa. Nama keluarga mereka hanya dikenal di RT rumahnya. Paling banter di RW karena ibunya rajin pengajian dan kondangan. Di usianya yang ke-48, perempuan yang selalu berhak tinggi ini sukses jadi CEO juga. Harga sepatunya sama seperti orang pertama. Tidak ada yang sadar, puluhan tahun dia putar otak banting tulang menjaga perasaan demi jadi CEO. Posisi yang sama dengan orang pertama. Sama posisi, beda proses. Jauh berbeda.
Orang ketiga lebih bukan siapa-siapa. Sehari-hari ia tukang ojek. Ia harus menghidupi anaknya yang akan masuk SMA sebagai single parent. Berjuang menembus panas dan debu ibukota dari rumah sempitnya di Depok. Dimaki penumpang karena tak hapal jalan sudah biasa. Bermodal motor bebek yang cicilannya masih setia hingga 2 tahun lagi. Pulang ke rumah jam 10 malam. Ia masih harus membersihkan rumah, mencuci baju. Tak lupa memasak nasi untuk sarapan esok hari. Iya, orang ketiga ini perempuan.
Orang keempat karyawati sebuah televisi swasta. Masuk kantor jam 12 siang, ia bisa pulang jam 4 ... pagi esok harinya. Kamar kostnya sempit dan pengap tanpa AC. Seukuran lemari sepatu orang pertama. Gajinya juga setengah atau bahkan seperempat harga sepatu orang pertama. Meski jarang pulang kampung bertemu orang tua, ia bekerja sesuai passion yang jadi cita-citanya sejak dulu. Ia pelanggan setia orang ketiga.
Orang kelima selalu berpakaian rapi, ia sales manager di perusahaan milik keluarga orang pertama. Kemeja favoritnya adalah keluaran brand Jepang yang super kering. Bikin kering gajinya mungkin. Sepatunya selalu sneakers berwarna-warni limited edition. Satu model pasti ia beli beberapa warna. Sarapan pagi di coffee shop, makan siang di resto, makan malam di cafe. Weekend getaway ke Bali atau Singapura. Tiga bulan sekali ke Jepang. Enam bulan sekali ke Eropa. Berbelanja.
Orang keenam tak akan dilirik orang pertama, kedua, dan kelima. Keluarganya hidup dari sebuah lapak sayuran ilegal di trotoar jalan. Trotoar di mana mereka berbagi tempat dengan sesama pedagang sayuran. Mencuri listrik, kucing-kucingan dengan satpol PP, entah melanggar berapa aturan hukum. Berdua dengan istrinya ia melayani pelanggan dari lepas magrib hingga subuh. Anak balitanya ia bawa, berbekal makan mie instan goreng. Dari lapak ilegal itu ia sudah bisa membeli sebuah mobil Avanza modal pulang kampung ke Jawa.
Orang ketujuh seorang istri solehah, pembantu rumah tangga di rumah orang kedua, pelanggan setia orang keenam. Rajin mengaji. Jilbabnya syar'i. Gaji yang ia terima lebih dari cukup karena majikannya terlampau baik budi. Ia bekerja rajin tanpa cela. Sering dibawa bepergian sampai luar kota. Ia juga yang bertanggung jawab pada anak majikannya yang kini jadi pandai ilmu agama. Jadi pandai mengaji juga. Ia menganggap anak majikannya seperti anaknya sendiri. Yang ia tidak punya.
Orang kedelapan pegawai rendahan di departemen agama. Gajinya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kadang terpaksa meminjam ke koperasi. Dua puluh kilometer setiap hari ia tempuh dengan motornya yang selalu bersih mengilap. Tak lupa jaket kulit butut yang sudah menemaninya selama 15 tahun terakhir. Ia dikenal sebagai pekerja keras. Di usianya yang hampir 50 tahun, ia masih harus menghidupi anak bungsunya yang baru akan masuk TK.
Orang kesembilan ini laki-laki, karyawan biasa yang bekerja jam 8 hingga jam 5. Merantau di Jakarta, tahun ini adalah tahun kedelapannya. Kerja berjam-jam menembus macet Jakarta, gajinya tiap bulan selalu habis seketika untuk mencicil rumah, mencicil mobil, membayar kontrakan, membayar segala kebutuhan anak istrinya. Satu motor tua dan satu mobil yang lebih tua menemani hari-harinya mengantar anak dan istrinya. Ia juga pelanggan setia orang keenam.
Orang kesepuluh perempuan. Bekerja dengan gaji lumayan jauh dari UMR Jakarta. Jumlah yang persis sama ia dapatkan juga dari suaminya. Meski begitu ia harus tetap bekerja karena gaji suaminya pasti habis dalam satu hari untuk membayar ini itu. Hidupnya enak, seminggu sekali atau dua, pergi ke mall seperti layaknya kaum urban Jakarta. Melepas stres katanya. Suaminya pasti setuju. Mall memang jalan keluar dari stres yang paling mudah. Makan di resto Jepang favorit atau sekadar cuci mata membeli sepatu atau tas. Senang barang branded yang diskon. Tipikal kelas menengah ngehe. Ngehe sekali.
Orang pertama gay. Orang kedua ditinggal mati suaminya saat hamil anak pertama, sekarang berjuang dengan kanker. Orang ketiga, keempat, dan keenam bahagia. Orang kelima terlilit hutang kartu kredit dan tak akur dengan orangtua yang memaksanya cepat menikah.
Orang ketujuh suaminya menikah lagi karena ia tak bisa memberi keturunan. Orang kedelapan istrinya lima. Istri pertamanya adalah orang ketujuh.
Orang kesembilan JG, orang kesepuluh saya. Kami bahagia. :)
Hidup kami mungkin tidak sempurna. Masih senang berbelanja barang branded meskipun diskon. Meski kadang iri kapan bisa membeli tas semahal tas orang kedua, kapan bisa punya sepatu sebanyak orang pertama. Tapi perasaan itu selalu terbayar jika teringat kesepuluh cerita itu punya sisi negatif sebagai pengingat syukur, dan sisi positif sebagai penyemangat hidup.
Kami bahagia. Ada alhamdulillah?
:)
*kecuali cerita sembilan dan sepuluh, sebagian cerita fiktif sebagian lagi nyata, dengan efek dramatis tentunya*
-ast-