Jadi hari ini rencanannya mau nulis soal QM Financial, tapi tergerak untuk nulis hal remeh ini setelah beli bubur di kantin belakang kantor.
Di belakang kantor ada tukang bubur yang setiap pagi antriannya lumayan panjang. Sampai bisa kebagian dilayani kalau sedang beruntung paling menunggu dua orang, tapi kalau panjang, bisa menunggu 5-6 orang. Padahal tukang buburnya cuma satu orang, pakai gerobak kecil biasa, tapi buburnya enak dan bersih *info penting*.
Tadi antriannya lumayan, saya menunggu tukang buburnya meracik empat mangkuk sekaligus. Keempat mangkuk itu diawasi langsung oleh mata-mata calon pemiliknya yang berdiri berjajar di belakang sang tukang bubur.
Tukang bubur: *menuangkan bubur, merica, kaldu, kecap asin, tangan siap mengangkat kecap manis*
Pembeli 1: "Saya jangan pake kecap manis!"
Tukang bubur: *menuangkan kecap manis ke tiga mangkuk lain, kasih ayam, kasih cakue, tangan siap menaburkan seledri, bawang goreng, dan kacang kedelai*
Pembeli 2: "Jangan pake kacang!"
Pembeli 3 dan 4 seperti tidak mau kalah: "Saya jangan pake seledri sama bawang goreng!"
Pembeli 1: "Saya jangan pakai sambal!"
Pembeli 3: "Saya pakai sambal tapi disebar!"
Pembeli 4: "Saya sambalnya sedikit banget aja!"
Pembeli 1: " Saya nggak usah pake emping"
Pembeli 2: "Saya emping aja nggak usah pakai kerupuk!"
YASSALAM.
Untung tukang buburnya sigap dan sabar yah. Semua dilayani dengan sempurna. Saya yang stres denger mereka semua teriak setiap tukang buburnya mau ambil sesuatu. Sampai pada giliran saya, cuma ada satu mbak-mbak mau beli juga. Tapi dia pendiam alias cuma ngomong "pak, satu dibungkus". Entah dia memang suka semua elemen di bubur itu atau memang pendiam sampai malu ngomong sama tukang bubur kalau misalnya dia nggak suka seledri gitu. -_____-
Saya menyodorkan tupperware yang saya bawa dari rumah (ogah beli bubur pake tempat styrofoam).
Saya: "Jangan pake kacang sama emping ya pak"
YASSALAM LAGI. Dan kemudian jadi nggak enak hati sendiri karena saya sama aja sama orang-orang tadi yang mau beli bubur aja repot.
Iya sih emang hak saya juga mau pake kacang atau nggak. Sayang juga kalau saya nggak bilang terus nanti ujung-ujungnya kacang sama empingnya saya buang. Tapi satu hal yang bener-bener saya sadari adalah, manusia sama sekali bukan makhluk yang sederhana. Atau bisa dengan mudah menyederhanakan diri.
Karena beli bubur ini, perang karena perbedaan jadi kerasa wajar. Beli bubur aja segitu beda-bedanya ya kan, apalagi hal lain yang lebih penting buat kehidupan kaya agama atau negara gitu. Saya kebanyakan mikir dan orang-orang yang ribut itu kurang mikir kayanya. Kalau perang mempertahankan ideologi, makan bubur nggak pake kacang juga buat saya idelogi. *sigh* Kompleks banget ya manusia. -______-
Terus tentang manusia bukan makhluk sederhana dan kompleks ini juga terasa dari kalangan yang suka ngeluh pamer.
Mengeluhkan sesuatu sambil pamer. Sebelum beli bubur itu JG cerita, temennya ada yang mengeluhkan anaknya di group whatsapp. Kurang lebih ngeluh gini:
"Aduh gimana ya anakku lebih bisa bahasa Inggris, bahasa Indonesia-nya nggak lancar"
Dibalas teman-teman dengan pujian seperti yang diharapkan sang pengeluh pamer:
"Ih pinter banget anaknya" atau "ya nggak apa-apa dong kan bagus jagoan bahasa Inggris"
Dijawab lagi dengan ngeluh pamer lain: "tapi maunya bisa dong bahasa Indonesia, masa lebih lancar bahasa Inggris"
BAHAHAHAHAHAHA. Ketawa ajah. Lah itu anak yang ngajarin bahasa juga siapa ya kan. Emak bapaknya ya kan.
Versi lain dari ngeluh pamer:
Ngetweet: "Harus beli koper baru dan packing buat keliling Eropa dua minggu tapi males banget ya ampuunnnn" --> padahal kita tau persis doi super excited dan udah merencanakan perjalanan dari jauh-jauh hari.
Kenapa manusia segitu kompleksnya sampai harus dibikin kalimat pamer tapi ngeluh. Kenapa nggak dibagi dua aja? Ngeluh ya ngeluh, pamer ya pamer. Biar auranya jelas, ngeluh ya negatif, pamer ya positif. Misal mau pamer keliling Eropa, akan lebih menyenangkan membaca Tweet:
"Horeeee, siap pergi keliling Eropa. See you in 2 weeks, Jakarta" -- auranya positif ya kan. Yang baca juga seneng. Bahagia. Aman. Sentosa. \O/
Atau yang mau pamer anaknya jago bahasa Inggris:
"Anakku dong, baru tiga tahun bahasa Inggrisnya lancar banget! Bahasa Indonesia dia malah kurang bisa. Hahahaha," -- pamer, sombong ya kesannya? Tapi itu kan tujuannya?
Ribet ya jadi manusia? Beli bubur aja ribet apalagi ingin membanggakan anaknya yang jago bahasa Inggris. Sampai dipilih kalimat muter-muter biar tidak terkesan sombong. Sampai sebuah kalimat dibuat sedemikian rupa agar kesan "bangga" nya lebih tertangkap tipis dibandingkan keluhannya. Repot.
Udah ah kebanyakan mikir.
-ast-
Di belakang kantor ada tukang bubur yang setiap pagi antriannya lumayan panjang. Sampai bisa kebagian dilayani kalau sedang beruntung paling menunggu dua orang, tapi kalau panjang, bisa menunggu 5-6 orang. Padahal tukang buburnya cuma satu orang, pakai gerobak kecil biasa, tapi buburnya enak dan bersih *info penting*.
Tadi antriannya lumayan, saya menunggu tukang buburnya meracik empat mangkuk sekaligus. Keempat mangkuk itu diawasi langsung oleh mata-mata calon pemiliknya yang berdiri berjajar di belakang sang tukang bubur.
Tukang bubur: *menuangkan bubur, merica, kaldu, kecap asin, tangan siap mengangkat kecap manis*
Pembeli 1: "Saya jangan pake kecap manis!"
Tukang bubur: *menuangkan kecap manis ke tiga mangkuk lain, kasih ayam, kasih cakue, tangan siap menaburkan seledri, bawang goreng, dan kacang kedelai*
Pembeli 2: "Jangan pake kacang!"
Pembeli 3 dan 4 seperti tidak mau kalah: "Saya jangan pake seledri sama bawang goreng!"
Pembeli 1: "Saya jangan pakai sambal!"
Pembeli 3: "Saya pakai sambal tapi disebar!"
Pembeli 4: "Saya sambalnya sedikit banget aja!"
Pembeli 1: " Saya nggak usah pake emping"
Pembeli 2: "Saya emping aja nggak usah pakai kerupuk!"
YASSALAM.
Untung tukang buburnya sigap dan sabar yah. Semua dilayani dengan sempurna. Saya yang stres denger mereka semua teriak setiap tukang buburnya mau ambil sesuatu. Sampai pada giliran saya, cuma ada satu mbak-mbak mau beli juga. Tapi dia pendiam alias cuma ngomong "pak, satu dibungkus". Entah dia memang suka semua elemen di bubur itu atau memang pendiam sampai malu ngomong sama tukang bubur kalau misalnya dia nggak suka seledri gitu. -_____-
Saya menyodorkan tupperware yang saya bawa dari rumah (ogah beli bubur pake tempat styrofoam).
Saya: "Jangan pake kacang sama emping ya pak"
YASSALAM LAGI. Dan kemudian jadi nggak enak hati sendiri karena saya sama aja sama orang-orang tadi yang mau beli bubur aja repot.
Iya sih emang hak saya juga mau pake kacang atau nggak. Sayang juga kalau saya nggak bilang terus nanti ujung-ujungnya kacang sama empingnya saya buang. Tapi satu hal yang bener-bener saya sadari adalah, manusia sama sekali bukan makhluk yang sederhana. Atau bisa dengan mudah menyederhanakan diri.
Karena beli bubur ini, perang karena perbedaan jadi kerasa wajar. Beli bubur aja segitu beda-bedanya ya kan, apalagi hal lain yang lebih penting buat kehidupan kaya agama atau negara gitu. Saya kebanyakan mikir dan orang-orang yang ribut itu kurang mikir kayanya. Kalau perang mempertahankan ideologi, makan bubur nggak pake kacang juga buat saya idelogi. *sigh* Kompleks banget ya manusia. -______-
Terus tentang manusia bukan makhluk sederhana dan kompleks ini juga terasa dari kalangan yang suka ngeluh pamer.
Mengeluhkan sesuatu sambil pamer. Sebelum beli bubur itu JG cerita, temennya ada yang mengeluhkan anaknya di group whatsapp. Kurang lebih ngeluh gini:
"Aduh gimana ya anakku lebih bisa bahasa Inggris, bahasa Indonesia-nya nggak lancar"
Dibalas teman-teman dengan pujian seperti yang diharapkan sang pengeluh pamer:
"Ih pinter banget anaknya" atau "ya nggak apa-apa dong kan bagus jagoan bahasa Inggris"
Dijawab lagi dengan ngeluh pamer lain: "tapi maunya bisa dong bahasa Indonesia, masa lebih lancar bahasa Inggris"
BAHAHAHAHAHAHA. Ketawa ajah. Lah itu anak yang ngajarin bahasa juga siapa ya kan. Emak bapaknya ya kan.
Versi lain dari ngeluh pamer:
Ngetweet: "Harus beli koper baru dan packing buat keliling Eropa dua minggu tapi males banget ya ampuunnnn" --> padahal kita tau persis doi super excited dan udah merencanakan perjalanan dari jauh-jauh hari.
Kenapa manusia segitu kompleksnya sampai harus dibikin kalimat pamer tapi ngeluh. Kenapa nggak dibagi dua aja? Ngeluh ya ngeluh, pamer ya pamer. Biar auranya jelas, ngeluh ya negatif, pamer ya positif. Misal mau pamer keliling Eropa, akan lebih menyenangkan membaca Tweet:
"Horeeee, siap pergi keliling Eropa. See you in 2 weeks, Jakarta" -- auranya positif ya kan. Yang baca juga seneng. Bahagia. Aman. Sentosa. \O/
Atau yang mau pamer anaknya jago bahasa Inggris:
"Anakku dong, baru tiga tahun bahasa Inggrisnya lancar banget! Bahasa Indonesia dia malah kurang bisa. Hahahaha," -- pamer, sombong ya kesannya? Tapi itu kan tujuannya?
Ribet ya jadi manusia? Beli bubur aja ribet apalagi ingin membanggakan anaknya yang jago bahasa Inggris. Sampai dipilih kalimat muter-muter biar tidak terkesan sombong. Sampai sebuah kalimat dibuat sedemikian rupa agar kesan "bangga" nya lebih tertangkap tipis dibandingkan keluhannya. Repot.
Udah ah kebanyakan mikir.
-ast-
Be the First to Post Comment!
Post a Comment
Hallo! Terima kasih sudah membaca. :) Silakan tinggalkan komentar di bawah ini. Mohon maaf, link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya. :)